Hitman

lalalalala hufh akhirnya bisa juga....., ... ternyata mudah sekali..... hhahahahahah.....
Hitman

Gears of war

aku bunuh kaw.... serbu........
Gears of war

Gears of war

eh..... kalian semua jangan kelahi dong.... berdamai ngapa.... kan damai itu indah..... hahahahaha......
href="">my
Diposting oleh no

dasar hukum L/C

Diposting oleh no

hm .......
kali ini saya mau meberikan sedikit informasi tentang l/c,
berikut ini uraianya...




Dasar hukum dari suatu L/C adalah klausula dalam kontrak jual beli yang menundukkan diri kepada Uniform Customs and Practices for Documentary Credit (disingkat UCP), hukum setempat (di Indonesia termasuk peraturan di bidang perbankan), dan kebiasaan dalam perdagangan (trade usage). International Chamber of Commerce (ICC) pada tahun 1933 telah menyeragamkan L/C dengan terbentuknya Uniform Customs and Practices for Documentary Credir (UCP).


UCP pertama diterbitkan pada tahun 1933 dengan brosur Nomor 82. Selanjutnya UCP pertama itu mengalami revisi-revisi agar memenuhi kebutuhan bisnis internasional yang terus berkembang. Revisi pertama terjadi pada tahun 1951, kedua pada tahun 1962, ketiga pada tahun 1972, keempat pada tahun 1983 yang dikenal dengan nama UCP 400, dan kelima atau terakhir pada tahun 1993 dengan terbitan Nomor 500 sehingga lebih populer dengan sebutan UCP 500.
Secara umum materi pokok Sales Contract berisi hal-hal berikut ini.
1. Nama Penjual (Seller)
2. Nama Pembeli (Buyer)
3. Barang yang diperjualbelikan dengan spesifikasi tertentu (berat, ukuran, kualitas, packing, dll.)
4. Harga
5. Ketentuan Penjualan (Commercial Terms)
a. FOB (Free on Board)
b. C & F (Cost and Freight)
c. CIF (Cost Insurance & Freight)
6. Pelabuhan Asal
7. Pelabuhan Tujuan
8. Transportasi
Pengalihan diperbolehkan/dilarang (Transhipment: Allowed/ Prohibited)
9. Pengiriman Barang
10. Ketentuan Pembayaran
a. L/C : Letter of Credit
b. D/P : Document Againts Payment
c. D/A : Document Againts Acceptance
11. Sertifikat-sertifikat
a. COO (Certificate of Origin)
b. Export License
12. Dan lain-lain yang dianggap perlu.
Mekanisme L/C secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Diadakan kontrak jual beli antara penjual kepada pembeli dalam jual beli mana pembeli diwajibkan membuka L/C.
2. Kemudian pembeli mengajukan aplikasi L/C kepada Bank Devisa langganannya untuk manfaat pihak penjual.
3. Bank penerbit mengirim surat L/C kepada penikmat melalui bank korepondennya di negara penikmat.
4. Advising bank memberitahu penikmat bahwa kepadanya telah dibuka L/C.
5. Setelah penikmat menerima L/C, dia lantas mengirim barang kepada pembeli.
6. Dokumen asli diserahkan kepada advising bank dan duplikat dikirim kepada pembeli.
7. Dilakukan pembayaran oleh advising bank setelah meneliti kelengkapan dokumen.
8. Dokumen yang telah diterima oleh advising bank kemudian dikirim ke issuing bank.
9. Setelah menerima dokumen-dokumen issuing bank membayar kepada advising bank.
10. Pembuka kredit membayar semua kewajiban kepada issuing bank setekah dinotifikasi oleh issuing bank bahwa semua dokumen telah datang.
11. Issuing bank mengirim dokumen asli kepada pembuka kredit, berdasarkan dokumen-dokumen mana barang-barang dapat diminta dari pengangkut.
Tahapan pembayaran dengan L/C secara ringkas sebagai berikut:
a. Penjual dan pembeli di luar negeri setuju dalam sales contract bahwa payment dilakukan menurut documentary credit.
b. Pembeli memberikan instruksi kepada bank di kediamannya (The Issuing Bank) untuk membuka documentary credit untuk penjual.
c. The Issuing Bank mengatur dengan bank di domisili penjual (Correspondent Bank) untuk melakukan negosiasi, menerima, atau membayar exporter draft atas penyerahan dari dokumen pengapalan.
d. Correspondent Bank memberitahu kepada penjual untuk menegosiasi, menerima, atau membayar exporter draft atas penyerahan dokumen pengapalan.
Beberapa risiko umum L/C adalah:
1. Barang yang diperjualbelikan tidak sesuai dengan yang diinginkan. Padahal ketepatan barang ini sangat penting dalam ekspor/impor yang menggunakan L/C karena pembayaran semata-mata didasarkan pada dokumen bukan pada barang.
2. Opening bank sengaja tidak membayar (default)
3. Situasi dan kondisi negara salah satu atau beberapa pihak yang terkait tidak baik sehingga mengakibatkan L/C tidak dibayar (high country risk)
Selain beberapa risiko di atas dikenal juga risiko fasilitas. Dalam kaitan ini risiko terjadi karena kegagalan nasabah melunasi kewajiban pembayaran Sight L/C maupun Usance L/C yang telah jatuh tempo. Kegagalan ini kebanyakan disebabkan beberapa hal berikut ini.
1. Kondisi keuangan (cash flow) debitur  Credit Risk
2. Pengaruh forex (jatuhnya nilai IDR)  Exchange Risk
3. Barang yang diimpor tidak laku(ULC)  Commercial Risk
4. kondisi ekonomi, sosial, politik, keamanan Country Risk
Sengketa
Dalam kehidupan sehari-hari setiap orang tentu menghendaki segala sesuatu berjalan dengan baik tanpa masalah apapun terlebih berupa sengketa. Akan tetapi, pada kenyataannya hidup ini tidak pernah luput dari masalah. Tidak heran tidak hanya masalah yang muncul melainkan sengketa juga.
Beberapa diantara masalah/sengketa itu hadir tanpa dikehendaki atau tidak dapat dicegah oleh seseorang sebab bermula dari pihak lain. Dengan demikian tidak ada seorang pun dapat memastikan dirinya akan senantiasa luput dari sengketa. Sehubungan dengan kenyataan itu setiap orang nampaknya perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi masalah dan/atau sengketa sehingga tetap dapat menjaga kepentingannya. Bahkan pada saat-saat tertentu seseorang perlu mempunyai kemampuan untuk melihat masalah atau sengketa sebagai sebuah peluang yang mesti dimanfaatkan bukan sekedar masalah yang harus dihindari. Sebagai sebuah peluang yang dapat dimanfaatkan sudah selayaknya kita mengenal seluk beluk penyelesaian sengketa.
Ibarat pisau yang dapat bermanfaat jika digunakan secara benar dan merugikan orang lain serta diri sendiri jika digunakan secara salah demikian pulalah penyelesaian sengketa. Dengan mengetahui beberapa segi penting penyelesaian sengketa diharapkan akan memiliki dasar pertimbangan untuk menggunakan penyelesaian sengketa secara tepat. Kapan harus menggunakan cara-cara penyelesaian sengketa, kapan harus menghindari. Kalau pun sudah yakin perlu memanfaatkan penyelesaian sengketa masih harus memilih cara penyelesaian sengketa yang paling tepat di antara cara-cara yang ada.
Sengketa dapat terjadi karena berbagai sebab, terutama perbuatan melawan hukum dan cidera janji (wanprestasi). Terhadap sengketa yang terjadi pihak-pihak yang terkait dapat menaruh berbagai keinginan atau harapan. Keinginan ini sangat berpengaruh pada upaya-upaya penyelesaian sengketa terutama pilihan terhadap cara-cara penyelesaian yang ada. Hal ini berkaitan erat dengan putusan yang dapat dihasilkan dari masing-masing cara penyelesian berbeda satu sama lain. Kekeliruan atas pilihan cara penyelesaian bukan hanya dapat menyebabkan ketidakpuasan melainkan kegagalan. Penyelesaian perbuatan melawan hukum dapat diselesaian melalui pengadilan sedangkan wanprestasi melalui pengadilan negeri, arbitrase, atau cara-cara lain yang tersedia.
Secara garis besar dikenal dua kelompok besar penyelesaian sengketa, yaitu melalui persidangan di dalam pengadilan dan di luar pengadilan. Menurut pengalaman dan pengamatan, beberapa permasalahan, terutama permasalahan keluarga dan bisnis, lebih baik diselesaikan di luar pengadilan. Terdapat berbagai alasan yang mendukung pilihan ini, seperti kemungkinan untuk tetap menjaga hubungan baik di antara pihak-pihak yang bermasalah.
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Secara konvensional, penyelesaian sengketa biasanya dilakukan secara litigasi atau penyelesaian di muka pengadilan. Dalam keadaan demikian, posisi para pihak yang bersengketa sangat antagonis (saling berlawanan satu sama lain). Penyelesaian sengketa bisnis model ini tidak direkomendasikan. Kalaupun akhirnya ditempuh, penyelesaian itu semata-mata hanya sebagai jalan yang terakhir (ultimatum remedium) setelah alternatif lain dinilai tidak membuahkan hasil.
Hukum acara perdata mengenal dua kewenangan, yaitu: a. wewenang mutlak, dan b. wewenang relatif. Wewenang mutlak menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari macam pengadilan, menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili (attributie van rechtsmacht).
Wewenang relatif menyangkut pembagian kekuasaan mengadili antar pengadilan yang serupa, terutama tergantung tempat tinggal tergugat (distributie van rechtsmacht). Dalam literatur ditemukan istilah lain, yaitu kekuasaan yang bersifat bulat atau absolut (absolute kompetentie) dan kekuasaan yang bersifat terperinci atau relatief (relatieve kompetentie).
Kekuasaan (wewenang) absolut dinamakan juga atribusi kekuasaan menyangkut wewenang berbagai jenis pengadilan dalam suatu negara dan lazim diatur dalam undang-undang yang mengatur susunan dan kekuasaan badan-badan pengadilan. Sedangkan kekuasaan relatif atau distribusi kekuasaan yaitu pembagian kekuasaan antara badan-badangn pengadilan yang sejenis lazim diatur dalam undang-undang tentang hukum acara.
Orang yang merasa haknya dilanggar disebut penggugat dan orang yang ditarik ke muka pengadilan karena dianggap melanggar hak seseorang atau beberapa orang disebut tergugat. Apabila ada banyak penggugat atau banyak tergugat, mereka disebut penggugat I, penggugat II, penggugat III, dan seterusnya. Demikian pula jika ada banyak tergugat, mereka disebut tergugat I, tergugat II, tergugat III, dan seterusnya.
Selain itu, dikenal juga turut tergugat, yaitu orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu tetapi demi kelengkapan suatu gugatan harus diukutsertakan. Dalam petitum turut tergugat ini hanya sekedar dimohonkan agar tunduk dan taat terhadap putusan hakim.
Mengenai hal di atas Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata berpendapat sebagai berikut.
Penggugat adalah seorang yang “merasa” bahwa haknya dilanggar dan menarik orang yang “dirasa” melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu perkara ke depan hakim. Sengaja dipakai perkataan “merasa” dan “dirasa” oleh karena belum tentu yang bersangkutan sesungguh-sungguhnya melanggar hak penggugat.
Surat gugat ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya dan memuat tanggal gugatan, nama, tempat tinggal, jabatan penggugat dan tergugat. Gugatan mesti memuat penjelasan mengenai permasalahan dan dasar dengan jelas (Fundamentum Petendi atau Posita). Posita terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang memuat alasan-alasan berdasarkan keadaan dan bagian yang memuat alasan-alasan berdasarkan hukum. Selain itu gugatan harus pula dilengkapi dengan petitum, yaitu hal-hal yang ingin diputuskan, ditetapkan, atau diperintahkan oleh hakim.
Perkara di pengadilan tidak hanya berupa gugatan, melainkan dikenal juga permohonan. Perbedaan utama antara gugatan dengan permohonan adalah sengketa atau konflik. Dalam gugatan terdapat sengketa sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa. Oleh karena itu, putusan hakim dalam permohonan berupa penetapan atau putusan declaratoir saja, yaitu putusan yang bersifat menetapkan atau menerangkan saja. Pada hakikatnya setiap orang boleb berperkara di depan pengadilan, kecuali orang yang belum dewasa (diwakili orang tua atau wali) dan sakit ingatan (diwakili pengampu).
Sebagaimana telah dikemukakan di muka, terhadap suatu sengketa pihak-pihak yang terkait dapat memiliki beraneka ragam keinginan. Jika penyelesaian melalui pengadilan menjadi pilihan maka keinginan itu dituangkan dalam suatu dokumen yang disebut gugatan. Putusan hakim atas suatu gugatan berupa penghukuman (condemmnator). Putusan semacam ini akan memuat pengakuan tentang hak penggugat dari pihak lain. Jika tergugat tidak mau melaksanakan putusan ini secara suka rela maka dapat dipaksakan melalui eksekusi.
Tujuan dari suatu gugatan disampaikan dalam bentuk tuntutan (petitum) yang merupakan permintaan kepada hakim untuk diputuskan. Petitum mesti dibuat secara jelas dan tegas serta tidak ada pertentangan satu sama lain. Remember that good writing makes the reader’s job easy; bad writing makes it hard.
Tuntutan dapat berupa tuntutan pokok, tuntutan tambahan, dan tuntutan provisional. Adapun alasan yang dapat dipakai untuk pengajuan gugatan adalah: Wanprestasi oleh debitur, perbuatan melawan hukum, perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad), dan kebatalan.
Suatu gugatan mesti memenuhi beberapa syarat tertentu, yaitu syarat formal dan syarat material. Syarat formal mencakup formalitas yang mesti dipenuhi suatu gugatan, yaitu: tempat dan tanggal surat gugatan, pemberian materai, tanda tangan pengugat atau kuasa. Sedangkan syarat material meliputi: identitas para pihak dan posita (fundamentum petendi). Posita berisi dasar dan alasan pengajuan gugatan yang biasanya terdiri dari dua bagian: 1. Uraian kejadian yang disengketakan (factual grounds). 2. Uraian tentang dasar hukum gugatan (legal grounds). Posita akan meliputi objek perkara, fakta hukum, kualifikasi perbuatan tergugat, uraian kerugian, dan petitum.
Pada saat ini dapat dikatakan sebagian besar gugatan dilakukan secara tertulis meskipun dimungkinan secara lisan. Gugatan secara tertulis disampaikan melalui surat kepada Ketua Pengadilan. Demikian juga dengan gugatan secara lisan disampaikan kepada Ketua Pengadilan.
Persidangan di pengadilan secara umum akan terdiri dari tahapan berikut ini. Pada persidangan pertama hakim akan mengusahakan perdamaian di antara para pihak yang bersengketa. Apabila tidak tercapai perdamaian kemudian dilakukan pembacaan gugatan oleh penggugat.
Persidangan kedua merupakan kesempatan bagi tergugat untuk menyampaikan tanggapan atau jawaban atas gugatan yang disampaikan penggugat pada sidang pertama. Hal-hal yang dapat disampaikan tergugat dalam jawaban meliputi hal-hal berikut ini.
Eksepsi atau tangkisan yaitu tanggapan atau jawaban atas formalitas gugatan yang tidak berkaitan langsung dengan pokok perkara. Eksepsi dapat meliputi eksepsi material dan prosesual. Eksepsi material terdiri dari eksepsi dilatoir dan peremtoir. Eksepsi dilatoir didasarkan pada ketentuan hukum material berupa keinginan agar dilakukan penundaan pemeriksaan gugatan oleh pengadilan. Sedangkan eksepsi peremtoir dimaksudkan untuk menggagalkan gugatan.
Adapun eksepsi prosesual berkaitan dengan hukum formal yang meliputi eksepsi declinator, litispendensi, nebis in idem, plurium litis consortium, diskualifikator. Eksepsi declinator berkaitan dengan kewenangan pengadilan mengadili perkara berkaitan dengan kompetensi absolutdan relatif. Eksepsi litispendensi merupakan pernyataan bahwa perkara yang diajukan pernah diperiksa tetapi belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Eksepsi plurium litis consortium merupakan pernyataan agar gugatan ditolak karena mengandung cacat formal seperti kesalahan pihak yang digugat. Eksepsi diskualifikator merupakan pernyataan tentang ketidakwenangan penguggat untuk mengajukan gugatan kepada penggugat.
Selain eksepsi disampaikan juga jawaban atas pokok perkara (konpensi) yang memuat pengakuan atau pembenaran dalil yang disampaikan penggugat, sangkalan atas dalil yang dikemukakan penggugat, atau fakta baru yang belum disampaikan penggugat dalam gugatan. Selain itu tergugat dapat menyampaikan gugatan balik (rekonpensi). Dengan adanya rekonpesi terdapat gabungan dua tuntutan, tuntutan dari penggugat dan tuntutan dari tergugat. Tujuan dari rekonpensi untuk menghemat biaya, mempermudah prosedur, dan menghindari putusan yang bertentangan mengenai perkara yang mempunyai dasar atau hubungan hukum yang sama.
Selanjutnya pada sidang ketiga penggugat berkesempatan menyampaikan jawaban balasan (replik). Selain itu, penggugat jika ada rekopensi sebagai tergugat dan rekonpensi dapat menyampaikan jawaban atas dalil-dalil yang dikemukan tergugat dalam gugatan rekonpensi.
Pada sidang keempat tergugat menyampaikan duplik sebagai tanggapan atas dalil-dalil yang disampaikan penggugat dalam replik. Jika tergugat mengajukan rekonpensi maka tergugat juga dapat mengajukan duplik atas replik yang dikemukakan penggugat sebagai tergugat dalam rekonpensi.
Pada sidang kelima penggugat menyampaikan bukti-bukti untuk membenarkan dalil-dalil yang telah disampaikan pada sidang-sidang sebelumnya.
Pada sidang keenam tergugat menyampaikan bukti-bukti untuk menyangkal dalil-dalil yang disampaikan penggugat sekaligus menyampaikan bukti-bukti atas dalil yang disampaikan dalam rekonpensi. Pada persidangan ini kepada para pihak yang bersengkera diberikan kesempatan untuk menyampaikan pertanyaan atau sangkalan atas bukti-bukti yang diajukan pihak lain.
Selanjutnya pada sidang ketujuh para pihak menyampaikan kesimpulan dari sidang-sidang yang telah dilaksanakan. Akhirnya, pada sidang kedelapan hakim pengadilan negeri akan menjatuhan putusan atas perkara yang diperiksa.
Mengenai putusan dikenal ada dua jenis: putusan sela (interlocutoir beslag) dan putusan akhir (eind beslag). Putusan sela merupakan putusan hakim yang dijatuhkan sebelum putusan akhir.
Ada tiga putusan sela: 1. Putusan prepator, yaitu putusan untuk mempersiapkan dan mengatur pemeriksaan tetapi tidak mempengaruhi pokok perkara. 2. Putusan interlokator, yaitu putusan yang berisi perintah pembuktian yang mempengaruhi pokok perkara. 3. Putusan provisional, yaitu putusan yang berupa tindakan sementara untuk kepentingan salah satu pihak yang bersengketa.
Sementara itu, putusan akhir merupakan putusan hakim mengenai pokok perkara yang merupakan akhir dari tingkat pengadilan tertentu. Putusan akhir meliputi putusan verstek, putusan deklarator (menerangkan suatu keadaan hukum), putusan konstitutip (menghapuskan suatu keadaan hukum), putusan kondemnator (menghukum salah satu pihak yang bersengketa), dan putusan kontradiktor.
Jika para pihak yang bersengketa di pengadilan negeri merasa tidak puas atas putusan hakim, dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi yang membawahi pengadilan negeri tersebut. Permohonan banding diajukan dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan diucapkan atau diberitahu apabila putusan diucapkan tanpa kehadiran pihak.
Jika ada pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan banding dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Kasasi merupakan upaya hukum terakhir bagi pihak-pihak yang bersengketa. Berbeda dengan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang memeriksa perkara (judex factie), mahkamah agung hanya akan memerika masalah hukum dan penerapan hukum (judex juris). Dalam kasasi tidak ada lagi pemeriksaaan bukti-bukti. Adapun alasan pengajuan kasasi adalah: tidak berwenang atau melampaui batas wewenang, salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, dan lalai menuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dikenal juga upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK). PK dapat diajukan untuk membatalkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 180 hari sejak putusan berkekuatan hukum tetap atau sejak ditemukan bukti-bukti baru (novum). Adapun alasan PK meliputi:
1. Putusan terdahulu didasarkan pada kebohongan, tipu muslihat, atau bukti-bukti palsu.
2. Ditemukan bukti baru
3. Putusan mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut.
4. Ada bagian dari tuntutan yang belum diputus
5. Putusan bertentangan satu sama lain padahal yang berperkara sama, persoalan sama, dasar hukum sama, jenis pengadilan sama, tingkat pengadilan sama.
6. Terdapat kekhilapan atau kekeliruan.
Terhadap permohonan PK ini Mahkamah Agung dapat menjatuhkan putusan berupa permohonan PK tidak dapat diterima, permohonan PK ditolak, atau permohonan PK dikabulkan. Setelah PK tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh. Dengan demikian setelah PK setiap pihak yang bersengketa harus menaati dan melaksanakan putusan.
Dari uraian yang telah disampaikan dapat dikatakan tidaklah terlalu mudah menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, dari segi waktu cukup lama, demikian pual dari segia biaya akan cukup mahal. Oleh karena itu pencegahan sengketa selalu saja lebih baik dari pada menyelesaikaan sengketa. Jangankan pihak-pihak yang berperkara, para pengacara pun sering kali merasa enggan menyelesaikan sengketa melalui pengadilan. Tidak heran kalau ada pengacara yang kemudian tidak mau lagi menjadi pengacara justru setelah menyelesaikan suatu sengketa melalui pengadilan meskipun berada di pihak yang memang. The truth is, I never wanted to be a lawyer anyway.
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Sebagaimana telah disampaikan di muka, penyelesaian sengketa melalui pengadilan masih menyisakan berbagai persoalan sehingga dirasakan perlu ada cara-cara penyelesaian sengketa lain di luar pengadilan berupa arbitrase maupun beberapa alternatif penyelesaian sengketa lain seperti konsultasi, negosiasi, mediasi, atau konsiliasi. Keberadaan upaya-upaya penyelesaian ini di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama tetapi semakin populer setelah diberlakukan UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase).
Dalam Undang-Undang ini dikemukakan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Arbitrase sejak awal diadakan sebagai sarana penyelesaian sengketa alternatif (alternatif dispute resolution) di luar pengadilan (ordinary court). Beberapa kekurangan pengadilan seperti waktu yang lama dan biaya yang mahal diharapkan dapat diatasi arbitrase. Oleh karena itu sejak semula arbitrase dirancang sebagai penyelesaian sengketa yang cepat dan murah bagi para pihak yang bersengketa (quick and lower in time and money to the parties). Akan tetapi pada kenyataannya, paling tidak menurut pengamatan saya, khususnya di Indonesia, arbitrase sulit dikatakan lebih cepat dan murah. Dalam beberapa hal pemberlakuan UU Arbitrase justeru telah menimbulkan masalah baru.
Sebagai gambaran awal dapat dikemukakan tiga putusan arbitrase yang dibatalkan oleh Pengadilan Negeri (PN) di Indonesia, yaitu: Putusan Arbitrase Swiss dalam sengketa antara Pertamina vs Karaha Bodas; Putusan Arbitrase BANI dalam sengketa jual beli kertas uang Rupiah antara Perum Peruri vs PT Pura Barutama; dan Putusan Arbitrase ad hoc dalam sengketa menyangkut sales agreement untuk pembelian material SWRCH&R yang akan digunakan untuk pembuatan bahan produk balok lempengan baja antara PT Krakatau Steel vs International Piping Product Inc (IPP). Berbagai putusan PN itu bukan hanya telah menimbulkan perdebatan baru di antara para pihak yang bersengketa, melainkan di masyarakat luas bahkan di luar negeri.
Antara arbitrase dan PN sampai sekarang tidak dapat dipisahkan sebab dalam beberapa hal masih harus “bekerjasama”, seperti dalam rangka pelaksanaan putusan arbitrase dan pembatalan putusan arbitrase. Terutama mengenai pembatalan putusan arbitrase oleh PN akhir-akhir ini semakin sering terjadi sehingga dipandang perlu untuk dicermati.
Mengenai pembatalan putusan arbitrase oleh PN dalam UU No 30 Tahun 1999 diatur di Bab VII Pasal 70-72. Dalam Pasal 70 dinyatakan bahwa terhadap putusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentuka yang sengaja disembunyikan oleh pihak lawan
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa
Sementara itu dalam penjelasan umum UU Arbitrase dinyatakan: “Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain:
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.”
Kalau dibandingkan antara Pasal 70 dengan Penjelasan Umum sebenarnya dapat dikatakan tidak terdapat perbedaan, terlebih bertentangan. Meskipun demikian persoalan telah dan/atau akan dapat mungkin muncul dari kata-kata yang sebenarnya tidak secara langsung menyangkut isi pasal, yaitu antara kata-kata: “unsur-unsur sebagai berikut” (Pasal 70) dan “antara lain” (Penjelasan Umum). Kata-kata “unsur-unsur sebagai berikut” dalam Pasal 70 mengandung pengertian terbatas (limited). Sedangkan kata-kata “antara lain” dalam Penjelasan Umum dapat memberikan pengertian tidak terbatas (unlimited).
PN Jakarta Pusat ketika memutus sengketa antara Pertamina melawan Karaha Bodas tidak memakai tiga alasan pembatalan yang disebutkan dalam Pasal 70 UU Arbitrase dengan argumentasi bahwa berdasarkan penjelasan umum UU Arbitrase terbuka kemungkinan dipakai alasan lain untuk membatalkan putusan arbitrase.
Sementara itu dalam putusan Mahkamah Agung No 01/Banding/Wasit/2001 dalam perkara antara Ssangyong Engineering & Construction dan PT Murinda Iron Steel melawan PT Danareksa Jakarta Internasional ditegaskan bahwa Pasal 70 UU Arbitrase menyebutkan secara limitatif hal-hal yang menjadi alasan permohonan pembatalan.
Kemudian patut diperhatikan Putusan Mahkamah Agung No 06/Banding/Wasit/2001 tentang perkara antara PT Twink Pratama vs PT Coca Cola Amatil Indonesia dkk. Dalam Putusan ini diadakan analisis materil dengan cara melakukan penyaringan dan penilaian terhadap alasan-alasan pembatalan yang diajukan untuk memastikan bukti-bukti sungguh-sungguh memenuhi unsur yang dimaksud Pasal 70 UU Arbitrase. Hasilnya ternyata dokumen yang diajukan oleh pemohon pembatalan tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 70 UU Arbitrase. Dengan demikian dapat dikatakan pemenuhan unsur-unsur yang dimuat dalam Pasal 70 Arbitrase merupakan keharusan.
Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Negosiasi adalah proses konsensus yang digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan di antara mereka Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan.

l/c......

Diposting oleh no

kali ini saya mau menyampaikan tentang l/C
A. Definisi-Definisi dalam Transaksi Letter of Credit
Pada umumnya L/C digunakan untuk membiayai penjualan barang/jasa jarak jauh antara eksportir dan importir.

Definisi L/C menurut CFG Sunaryati Hartono : ”Secara harfiah L/C dapat diterjemahkan sebagai Surat Hutang atau Surat Piutang atau Surat Tagihan, tetapi sebenarnya L/C lebih merupakan janji akan dilakukan pembayaran,apabila dan setelah terpenuhi syarat-syarat”
Bank Indonesia memberikan definisi mengenai L/C sbb :
”Letter of Credit adalah janji dari issuing bank untuk membayar sejumlah uang kepada eksportir sepanjang ia dapat memenuhi syarat dan kondisi Letter of Credit tersebut”

Sedangkan menurut Uniform Customs and Practice for Documentary Credit, ICC Publication No. 500 tahun 1993 (UCP 500), definisi L/C adalah : ”Setiap perjanjian, apapun namanya atau maksudnya, dimana suatu bank (Issuing Bank atau bank penerbit) bertindak atas permintaan dan instruksi seorang nasabah (Applicant/pembuka) atau atas namanya sendiri, untuk melakukan pembayaran kepada pihak ketiga atau kuasanya (orang yang ditunjuk oleh beneficiary/penerima L/C) atau memberikan kuasa kepada bank lain untuk melakukan pembayaran, atau untuk mengaksep dan membayar bill of exchange/wesel, atau memberi kuasa kepada bank lain untuk menegosiasi atas penyerahan dokumen-dokumen yang ditetapkan, asalkan memenuhi persyaratan dan kondisi L/C”
Berikut ini diuraikan definisi istilah-istilah dalam kaitannya dengan transaksi ekspor dan impor menggunakan L/C :
1. Applicant atau Pemohon adalah pihak yang mengajukan permohonan penerbitan/pembukaan L/C applicant biasanya adalah importir
2. Issuing Bank/Opening Bank atau Bank Penerbit adalah bank yang diminta oleh applicant untuk menerbitkan L/C
3. Advising Bankatau Bank Penerus adalah bank koresponden dari Issuing Bank yang diminta untuk meneruskan L/C kepada eksportir
4. Negotiating Bank atau Bank Penegosiasi adalah bank yang diberi kuasa oleh Issuing Bank untuk membayar sejumlah uang kepada beneficiary, sepanjang beneficiary telah menyerahkan dokumen-dokumen ekspor yang sesuai dengan syarat dan kondisi L/C
5. Benefiary atau Penerima adalah pihak yang menerima L/C dan biasanya juga adalah eksportir.
6. Confirming Bank adalah bank yang ditunjuk oleh Issuing Bank untuk melakukan pembayaran dalam hal Issuing Bank cidera janji tidak melakukan pembayaran, sepanjang syarat dan kondisi L/C telah terpenuhi.
7. Sight L/C adalah L/C yang mensyaratkan pembayaran atas unjuk, dimana kewajiban bank untuk melakukan pembayaran adalah pada saat dokumen-dokumen diajukan kepadanya.
8. Usance L/C mensyaratkan pembayaran berjangka, dimana bank berkewajiban untuk membayar pada waktu tertentu pada masa yang akan datang, misalnya : 180 hari setelah tanggal B/L.
9. Negosiasi adalah pembelian dokumen oleh Negotiating Bank disertai pembayaran kepada beneficiary.



B. Alur Transaksi Letter of Credit

Sebelum lebih jauh membahas mengenai kasus BNI, terlebih dahulu akan diuraikan sistematika alur transaksi dalam L/C sebagai berikut :


Dari gambar tersebut, berikut diuraikan alur L/C, barang dan uang sbb :
1. Eksportir dan Importir menandatangai kontrak jual beli barang.
2. Importir/pemohon/applicant mengajukan aplikasi pembukaan L/C kepada Bank Pembuka
3. Bank Pembuka menerbitkan L/C dan mengirimkannya melalui korespondennya dinegara eksportir (yang yang menerima disebut Bank Penerus/Advising Bank)
4. Bank Penerus meneruskan L/C melalui banknya beneficiary/penerima L/C.
Banknya beneficiary meneruskan L/C kepada beneficiary
5. Beneficiary menyiapkan barang untuk kemudian mengapalkannya dengan tujuan ke negara importir sesuai kontrak yang disepakati
6. Eksportir kemudian menyerahkan dokumen ekspor, lazimnya terdiri dari Wesel/Bill of Exchange, Bill of Lading, Commercial Invoice, Packing List dan dokumen lain yang dipersyaratkan L/C dan Bank Penegosiasi memeriksa kelengkapan dan kesesuian dokumen dengan L/C dan membayarkan senilai wesel yang diserahkan
7. Bank Penegosiasi mengirimkan dokumen-dokumen yang sudah dinegosiasi kepada Bank Penerbit untuk mendapatkan pembayaran
8. Bank Penerbit membayarkan kepada Bank Penegosiasi
9. Bank Penerbit menyerahkan dokumen tersebut kepada pemohon untuk kemudian pemohon mengambil barang dari pelabuhan.

C. Praktek-Praktek Umum Dalam Menangani Transaksi Letter of Credit
Dalam hubungan dengan penerapan aturan internal bank, maka semua bank telah menetapkan aturan baku dalam menangani transaksi ekspor impor dengan L/C :
1. Pada saat menerima L/C ekspor, prosedur yang harus dijalani adalah sbb :
a. Meyakini L/C harus diterbitkan oleh Bank koresponden
Bank koresponden adalah bank yang mempunyai hubungan korespondensi dengan Advising Bank. Korespondensi dalam perbankan diwujudkan dalam bentuk pertukaran angkat test untuk telex, SWIFT Authenticator Key, buku contoh tanda tangan, sehingga jika sebuah bank memerima berita, surat atau surat berharga dari bank korespondennya, maka bank tersebut dapat melakukan otentikasi untuk meyakini kebenaran dan keabsahannya.
b. Meyakini bahwa L/C tersebut tunduk pada UCP 500
c. Melakukan otentikasi terhadap L/C yang diterima dari Bank Penerbit dengan :
- Melakukan verifikasi test otentikasi dalam dalam L/C yang diteruskan dengan menggunakan telex atau mencocokkan tanda tangan yang ada dalam L/C dengan contoh tanda tangan yang ada pada adminsitrasi bank.
- Apabila L/C diteruskan melalui SWIFT dan bank penerbit sudah mempunyai hubungan koresponden dengan bank penerus, maka pada bagian atas SWIFT tersebut akan terdapat indentifiksi bahwa berita SWIFT tersebut telah diotentikasi oleh lembaga penyelenggara SWIFT. Bank harus meyakini adanya bukti otentikasi tersebut.
d. Memeriksa L/C untuk memastikan bahwa syarat-syarat dan kondisi yang ada didalamnya tidak bertentangan peraturan perundangan dan aturan internal bank.
e. Untuk L/C yang diterbitkan dari bank yang kurang terkenal atau berasal dari negara-negara yang resikonya tinggi atau high risk country, apalagi bila dalam jumlah besar, maka bank akan meminta agar L/C tersebut di-kofirm oleh bank yang bonafid (first class bank).
Konfirmasi dalam hal ini merupakan jaminan dari confirming bank yang akan membayar semua tagihan L/C apabila ternyata Issuing Bank wan prestasi untuk membayar tagihan L/C tersebut, sepanjang semua persyaratan dan kondisi L/C telah terpenuhi.
2. Prosedur yang berlaku di Negotiating bank pada saat memproses negosiasi pada umumnya adalah sbb :
a. Bank harus meyakini bahwa Issuing Bank cukup bonafid, sehingga dokumen yang akan dinegosiasi nantinya pasti dibayar. Untuk meyakini bonafiditas Issuing Bank, biasanya bank mempunyai aturan bahwa Issuing bank haruslah Bank yang sudah mempunyai commercial line atau oleh media masa Indonesia disebut sebagai bank koresponden. Sebenarnya terdapat perbedaan antara Commercial Line dengan bank koresponden.
Commercial Line adalah merupakan line atau limit yang ditetapkan oleh suatu bank terhadap bank lain dengan mempertimbangkan aspek resiko gagal bayar jika bank tersebut mempunyai kewajiban pembayaran. Commercial Line sendiri sebenarnya merupakan common practice di dunia perbankan dan merupakan salah satu cara untuk meminimalisir resiko bisnis
Sementara bank koresponden, biasanya hanya terbatas pada pertukaran sarana otentikasi surat, telex, SWIFT dan sarana korespondensi lainnya.
b. Tahapan selanjutnya adalah memeriksa dokumen-dokumen ekspor yang telah diserahkan oleh beneficiary untuk meyakini bahwa semua dokumen sudah sesuai dengan syarat dan kondisi L/C.
c. Apabila dokumen yang diajukan adalah untuk Usance L/C, maka Negotiating harus memintakan akseptasi terlebih dahulu kepada Issuing Bank.
Akseptasi adalah pernyataan dari Issuing Bank bahwa mereka mengaksep wesel dan berjanji akan membayar pada tanggal tertentu dikemudian hari (misalnya : 180 hari setelah tanggal Bill of Lading)

D. Letter of Credit dan Hukum yang Memayunginya
Karena dinilai memberikan perlindungan hukum yang cukup memadai bagi semua pihak, tak mengherankan jika dalam perdagangan internasional (ekspor impor) pihak eksportir dan importir sepakat menggunakan L/C sebagai sarana pembayaran, tak terkecuali eksportir dan importir di Indonesia.
Di sisi lain, adanya dukungan perbankan juga ikut mendorong penggunaan L/C sebagai sarana pembayaran, karena Bank Indonesia memberikan ijin kepada bank-bank tertentu yang telah memenuhi syarat untuk menjadi bank devisa, sehingga memungkinkan bank-bank devisa tersebut melakukan transaksi perdagangan internasional melalui produk-produk Trade Services dan Trade Finance. Bahkan untuk mendorong dan menggairahkan perdagangan domestik atau antar pulau, Bank Indonesia telah membuat aturan main serupa dengan UCP 500 yaitu Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri atau sering disebut SKBDN.
L/C pada hakikatnya adalah alat pembayaran dan oleh karena itu keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak dalam L/C harus dipertahankan secara adil dan terbuka. Keadilan dan keterbukaan dalam pelaksanaan L/C merupakan suatu keharusan karena nilai inti L/C adalah perwujudan pembayaran sejumlah uang senilai L/C.
Applicant L/C yang meminta bank penerbit untuk menerbitkan L/C berhak atas barang yang dibayar berdasarkan L/C, tetapi berkewajiban untuk membayar kembali kepada bank yang untuk dan atas nama applicant melakukan pembayaran harga barang dengan L/C kepada beneficiary yang menyampaikan kepada bank penerbit, dokumen-dokumen yang dipersyaratkan L/C yang mewakili barangyang dijual kepada pemohon. Jika bank penerbit L/C memberi kuasa kepada bank yang ditunjuk untuk melakukan pembayaran harga barang kepada penerima L/C, bank penerbit berkewajiban membayar kembali kepada bank yang ditunjuk sejumlah uang yang telah dibayarkannya kepada penerima.
Hak dan kewajiban para pihak adalah sesuai dengan dengan kesepakatan berdasarkan kontrak yang disetujui para pihak yang memuat jumlah pembayaran yang akan direalisiasikan sebagai pengganti pengiriman barang oleh beneficiary kepada pemohon. Saat pelaksanaan hak dan kewajiban juga dilakukan dengan merujuk pada kesepakatan masing-masing pihak berdasarkan kontrak. Demikian juga halnya dengan pembayaran biaya dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban.
Dalam menangani transaksi ekspor impor di Indonesia, maka bank harus tunduk kepada :
1. Peraturan internal Bank yang biasanya diwujudkan dalam bentuk Standard Operating Procedure. Peraturan internal bank biasanya dibuat berdasarkan best practice yang berlaku pada bank-bank seluruh dunia.
Layaknya peraturan perundangan di sebuah negara, peraturan internal bank berlaku mengikat kepada seluruh pegawai bank dimaksud, dan akan ada sanksi kepada pegawai yang melakukan pelanggaran atas peraturan internal tersebut.
2. Peraturan/perundangan yang berlaku di Indonesia
Di Indonesia, teknis pembayaran L/C diatur oleh Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Peraturan Bank Indonesia itu memberikan aturan umum mengenai kewajiban pengelolaan perbankan secara hati-hati atau lebih dikenal dengan prinsip-prinsip prudensial.
3. Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCP)
Ketentuan internasional L/C dimuat dalam UCP. UCP mengatur pelaksanaan L/C secara internasional tetapi hanya bersifat pengaturan umum. Ketentuan tehnis pelaksanaan L/C tidak diatur oleh UCP, tetapi oleh International Standard for Banking Practices dan dalam kerangka negara diatur oleh hukum nasional. UCP dan ISBP tidak mencampuri materi aturan UCP dan ISBP. UCP, ISBP dan hukum nasional tidak mempunyai hubungan hirarkie karena UCP dan ISBP bukan merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan suatu negara.

IV. Analisis
A. Perikatan yang Timbul
Perikatan-perikatan yang timbul di antara para pihak yang terlibat dalam transaksi L/C adalah sebagai berikut :
1. Antara Pemohon dan Beneficiary dalam bentuk Kontrak :
- kewajiban pemohon untuk membayar senilai barang yang dikirimkan oleh penjual sesuai kesepakatan
- kewajiban beneficiary untuk mengirimkan barang yang dipesan sampai ketempat yang telah disepakati.
2. Antara Pemohon dan Issuing Bank dalam bentuk Aplikasi L/C :
- kewajiban pemohon untuk membayar dengan tepat waktu senilai dokumen yang sudah diterima dan diperiksa oleh Issuing Bank
- kewajiban Issuing Bank untuk menerbitkan L/C sesuai instruksi pemohon dan melakukan pemeriksaan dokumen impor yang diterimanya
3. Antara Issuing Bank dan Beneficiary dalam bentuk L/C :
- kewajiban Issuing Bank untuk membayar sejumlah tagihan wesel ekspor sepanjang semua syarat dan kondisi L/C telah terpenuhi
- kewajiban beneficiary untuk menyerahkan dokumen yang disyaratkan dalam L/C
4. Antara Issuing Bank dan Advising Bank dalam bentuk L/C :
- kewajiban Issuing Bank untuk mengirimkan L/C melalui sarana tercepat kepada advising bank
- kewajiban Advising Bank untuk mengambil langkah-langkah yang benar dalam meneruskan L/C kepada beneficiary pada kesempatan pertama, sesuai instruksi Issuing Bank
5. Antara Issuing Bank dan Negotiating Bank dalam bentuk L/C :
- kewajiban Issuing Bank untuk membayar senilai tagihan wesel kepada negotiating bank sepanjang syarat dan kondisi L/C telah terpenuhi
- kewajiban Negotiating Bank untuk memeriksa dokumen ekspor sesuai standard waktu yang ditetapkan UCP
6. Antara Negotiating Bank dan Beneficiary dalam bentuk Aplikasi Negosiasi :
- kewajiban Negotiating Bank untuk memeriksa dokumen ekspor sesuai standard waktu yang lazim dan melakukan pembayaran, jika negotiating bank memutuskan untuk membeli dokumen ekspor
- kewajiban beneficiary untuk membayar kembali hasil negosiasi yang telah dibayarkan, jika ternyata Issuing Bank wan prestasi.

B. Pelanggaran/Penyimpangan yang Terjadi
Berikut ini adalah analisa mengenai kemungkinan adanya pelanggaran dalam penanganan transaksi L/C tersebut di Bank BNI :
1. Pelanggaran terhadap Peraturan Bank Indonesia dan Perundang-undangan Lainnya
Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan bank (prudential banking practice) Bank Indonesia telah membuat ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yaitu 20 % dari modal disetor bank. Modal disetor BNI per 31 Desember 2003 adalah sebesar Rp 7.042 milyar, sehingga dengan demikian BMPK untuk kelompok Gramarindo dan Petindo adalah Rp 1,4 trilyun (20% modal disetor). Nilai L/C yang diberikan kepada Gramarindo transaksi sebesar Rp. 1,7 triliun jelas merupakan pelanggaran karena pada dasarnya dapat digolongkan dalam fasilitas pemberian kredit, terutama ketika fasilitas negosiasi tersebut efektif menjadi kredit karena tidak bisa dibayar oleh Issuing Bank.
Diduga telah terjadi tindak pidana pemalsuan terhadap L/C dan dokumen ekspor (B/L), karena dari informasi yang ada, ternyata tidak pernah terjadi realisasi ekspor dan pengapalan barang ke Kenya dan Kongo.
Disamping itu, berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah diputuskan terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang no 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Korupsi dan UU Nomor 15 Tahun 2002 Pasal 6 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

2. Pelanggaran terhadap aturan internal Bank
Semua bank, tak terkecuali Bank BNI pasti sudah mempunyai aturan baku dalam menangani transaksi L/C, sehingga apabila semua aturan yang ada dilaksanakan niscaya kasus seperti Bank BNI tidak akan terjadi.
Untuk lebih memberikan gambaran yang rinci, akan dianalisa kemungkinan pelanggaran pada setiap tahapan pemrosesan L/C sbb :
a. Pada saat meneruskan L/C
Dalam pengamatan penulis, dari nama-nama Issuing Bank sebagaimana disebutkan, tidak terdapat dalam daftar nama-nama bank yang ada di Bankers Almanac atau setidak-tidaknya tidak cukup terkenal, untuk tidak mengatakan bahwa nama-nama bank itu hanya fiktif.
Dalam praktek perbankan pada umumnya, kalau Issuing Bank tersebut bukan korespnden, tentunya pada saat L/C diterima mestinya tidak bisa diproses, karena tidak bisa dilakukan otentikasi atas kebenaran dan keabsahan L/C dimaksud, terlebih lagi kalau ternyata L/C itu diterbitkan oleh bank fiktif, jelas bank tidak boleh melakukan proses selanjutnya.
Dalam UCP 500 pasal 7 disebutkan bahwa dalam hal advising bank memutuskan untuk meneruskan L/C maka harus mengambil langkah-langkah yang benar dalam memeriksa keabsahan L/C yang diteruskannya. Dan apabila bank tersebut memutuskan tidak meneruskan, maka ia harus memberitahukan kepada Issuing Bank.
Pasal 7 lebih lanjut mengatur bahwa apabila tidak bisa memastikan keabsahan L/C, Advising Bank pada kesempatan pertama harus memberitahukan kepada Issuing Bank dan apabila Advising Bank memilih untuk meneruskan L/C tersebut, maka ia harus memberitahukan kepada Beneficiary bahwa ia tidak dapat memastikan keabsahan L/C tersebut.
Ada beberapa kemungkinan atas lolosnya L/C dari bank-bank tersebut :
i. L/C tersebut memang benar-benar asli dan otentik, dalam arti nama bank memang ada dan Bank BNI dapat melakukan otentikasi atas keabsahan L/C dimaksud.
ii. L/C tersebuut asli tapi palsu, dalam artian bukan diterbitkan oleh bank-bank tersebut,tapi dibuat seolah-olah diterbitkan oleh bank-bank tersebut dan dengan bantuan oknum-oknum yang ada di Bank BNI dapat diotentikasi dengan menggunakan sandi otentikasi dari bank-bank tersebut dengan cara-cara illegal.
iii. L/C memang tidak di-otentikasi sama sekali oleh Bank BNI
iv. Satu hal yang juga sudah menjadi praktek standard yang dilakukan oleh bank-bank diseluruh dunia dan itu mungkin tidak dilakukan dalam kasus Bank BNI, adalah bahwa untuk nilai transaksi yang cukup besar biasanya dimintakan klarifikasi ulang kepada Issuing Bank untuk memastikan keabsahan dari L/C.
b. Pada saat proses negosiasi (diskonto usance L/C)
- Sebelum melakukan negosiasi, bank biasanya melakukan rating terhadap resiko bank korespondennya dan kemudian dibuatkan commercial line. Ada atau tidaknya commercial line, dijadikan dasar pertimbangan untuk menegosiasi atau tidak. Artinya bahwa jika tidak ada commercial line, maka Bank dapat memutuskan untuk menolak negosiasi.
- Pada saat dokumen ekspor diajukan kepada bank, maka bank akan memeriksa untuk meyakini bahwa semua syarat dan kondisi L/C telah terpenuhi.
- Dalam memeriksa dokumen bank tidak bertanggung jawab terhadap kebenaran isi dokumen, sebagaimana diatur dalam UCP pasal 4 : dalam pelaksanaan L/C, bank hanya berurusan dengan dokumen-dokumen dan bukan dengan barang-barang, jasa-jasa dan atau pelaksanaan lainnya yang berkaitan dengan dokumen yang bersangkutan.
Meskipun UCP pasal 4 mengatur demikian, bukan berarti bank tidak berhak mengecek apakah memang barang telah benar-benar dimuat di atss kapal, sehingga bisa diterbitkannya Bill of Lading.
Dalam kasus BNI, seharusnya karena nilai dokumennya sangat besar, maka bank harus meyakini bahwa barang memang benar-benar telah dimuat diatas kapal dengan mengklarifikasi kepada perusahaan pelayaran atau dengan memeriksa secara langsung di pelabuhan muat.
- Setelah dokumen diperiksa lengkap dan sesuai dengan L/C, maka dalam kasus Bank BNI dimana L/C mensyaratkan pembayaran berjangka, maka tahap selanjutnya adalah memintakan akseptasi kepada Issuing Bank dan apabila sudah ada akseptasi maka baru bisa dilaksanakan negosiasi.
c. Penanganan Pasca Negosiasi (Diskonto Usance L/C)
Permasalahan di Bank BNI adalah bahwa setelah jatuh tempo, ternyata pihak Issuing Bank wan prestasi atau tidak bisa membayar tagihan wesel ekspor Usance.
Sudah menjadi praktek umum di dunia perbankan, apabila terdapat tagihan wesel yang tidak dibayar oleh Issuing Bank, maka Negotiating Bank harus mengusahakan agar outstanding tagihan tersebut segera dibayar dan agar tidak terjadi akumulasi tagihan wesel yang tidak terbayar, maka bank seharusnya untuk sementara berhenti memberikan fasilitas negosiasi sampai semua tagihan weselnya dilunasi oleh Issuing Bank.
Disamping itu pada saat memberikan fasilitas negosiasi, bank biasanya mensyaratkan kepada beneficiary untuk menyerahkan semacam surat jaminan yang dimana jika ternyata wesel ekspornya tidak dibayar oleh bank di luar negeri, negotiating bank dapat menarik kembali dari beneficiary atau sering disebut dengan hak regres.
Hak regres adalah hak yang dimiliki oleh Negotiating Bank atas L/C yang tidak di-konfirm, untuk L/C yang di-konfirm Negotiating Bank tidak mempunyai hak regres (pasal 9.iv UCP 500)
Jadi dalam praktek, sebelum melakukan negosiasi bank akan meminta terlebih dahulu surat jaminan yang nantinya akan digunakan oleh Negotiating Bank untuk meng-eksekusi hak regresnya. Bank juga harus meyakini bahwa pada saat hak regres itu akan dieksekusi, maka rekening nasabah masih tersedia cukup dana.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan telah terjadi pelanggaran prosedur dalam menangani transaksi L/C tersebut di atas sejak dari tahap awal penerusan L/C sampai dengan L/C itu kemudian direalisir dan terjadi negosiasi.
Pelanggaran tersebut kemudian berlanjut hingga saat fasilitas negosiasi menjadi bermasalah karena tidak dibayar oleh Issuing Bank, dimana kemungkinan Bank BNI kurang cepat dalam melakukan tindakan-tindakan pengamanan atas fasilitas yang telah diberikan kepada nasabahnya.

3. Pelanggaran terhadap UCP 500
Dalam kasus Bank BNI, pihak yang wan prestasi adalah Issuing Bank. Dengan asumsi bahwa nama-nama bank yang disebutkan sebelumnya adalah benar, maka Issuing Bank dimaksud telah melanggar pasal 9.a.iii, UCP 500 yang antara lain berbunyi : Suatu irrevocable L/C merupakan jaminan yang pasti dari Issuing Bank asalkan dokumen-dokumen yang diminta diserahkan kepada Bank yang ditunjuk Negotiating Bank dan sesuai dengan syarat dan kondisi L/C, untuk :
(i) apabila L/C mensyaratkan pembayaran atas unjuk (sight) – untuk membayar atas unjuk;
(ii) apabila L/C mensyaratkan pembayaran kemudian (defferred payment) – untuk membayar pada tanggal jatuh tempo yang ditentukan sesuai dengan yang disyaratkan L/C tersebut;
(iii) apabila L/C mensyaratkan akseptasi :
(a). oleh Issuing Bank – untuk mengaksep wesel yang ditarik olehbeneficiary pada Issuing Bank dan membayarnya pada saat jatuh tempo
(b). Oleh bank tertarik lainnya untuk mengaksep dan membayar pada saat jatuh tempo wesel yang ditarik oleh beneficiary pada Issuing Bank dalam hal bank tertarik yang ditunjuk dalam L/C tidak mengaksep wesel yang ditarik atas bank tersebut, atau membayar wesel yang telah diaksep tetapi tidak dibayar oleh bank tertarik tersebut pada saat jatuh tempo.

4. Penyimpangan terhadap Kebiasaan dan Best Practice di dunia perbankan
Berdasarkan penjelasan pada bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan telah terjadi penyimpangan terhadap Kebiasaan dan Best Practice di dunia perbankan sbb:
- Tidak dilakukan assessment resiko terhadap Issuing Bank (Commercial Line)
- Tidak dimintakan konfirmasi dari First Class International Bank, padahal untuk yang L/C berasal dari high risk country dan nilainya sangat besar lazimnya di-konfirm.
- Tidak dilakukan assessment terhadap nasabah penerima fasilitas (Gramarindo & Petindo), dengan analisa 5C (Character, Capability, Capital, Collateral & Condition) dan Trade Line
- Tidak ada pemisahan fungsi manajemen risiko dan fungsi marketing karena semua keputusan dilakukan oleh satu pejabat yakni Kepala Cabang atau pejabat lain yang ditunjuk Kepala Cabang, tanpa adanya review dari sisi Risk Manajemen

5. Pelanggaran terhadap Etika
Pegawai Bank BNI Kebayoran Baru lainnya tidak melaporkan adanya indikasi pelanggaran prosedur diskonto L/C kepada unit yang berwenang, sehingga potensi kerugian Bank BNI menjadi semakin besar.

6. Vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Sehubungan dengan persidangan kasus L/C fiktif Bank BNI, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis sebagai berikut :

Vonis terhadap pelaku internal BNI :
No Nama Jabatan Vonis PN
1. Edi Santosa Kabid Pelayanan luar negeri BNI Cab. Kebayoran Baru Penjara Seumur hidup
2. Kusadiyuwono Kepala Cab. BNI Kebayoran Baru Penjara 16 tahun


Vonis terhadap pelaku nasabah BNI :
No Nama Jabatan Vonis PN
1. Olah Abdullah Agam Direktur PT Gramarindo Legal Indonesia 15 tahun penjara potong masa tahanan & denda Rp300 juta
2. Aprilla Widharta Direktur Pan Kifros 15 tahun penjara potong masa tahanan & denda Rp200 juta
3. Adrian P. Lumowa Direktur Magnetique Esa Indonesia 15 tahun penjara potong masa tahanan & denda Rp400 juta
4. Titik Pristiwanti Direktur Binekatama Pasific 8 tahun penjara & denda Rp300 juta
5. Richard Kuontul Direktur Netrantara 10 tahun penjara & denda Rp150 juta
V. Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan-pembahsan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam kasus L/C fiktif BNI tersebut, diduga telah terjadi pelanggaran dan penyimpangan terhadap 3 aspek sbb :
1. Ekonomi
Berpotensi merugikan BNI sebesar Rp 1,2 trilyun, karena dari total nilai transaksi L/C, sebesar Rp. 0,5 trilyun telah dikembalikan oleh nasabah.
2. Hukum
Telah terjadi pelanggaran/penyimpangan terhadap :
- Aturan Internal BNI
- Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCP)
- Kebiasaan dan Best Practice di dunia perbankan
- Peraturan BI, UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang
- Telah terjadi tindak pidana pemalsuan terhadap L/C dan dokumen ekspor (B/L)
3. Etika
Pegawai Bank BNI Cabang Kebayoran Baru lainnya tidak melaporkan adanya indikasi pelanggaran prosedur diskonto L/C kepada unit yang berwenang di BNI.

B. Saran
Agar kejadian serupa tidak terulang kembali di Bank BNI pada masa-masa yang akan datang, disarankan melakukan langkah-langkah sbb :
1. Menerapkan Good Corporate Governance secara konsisten.
2. Memperketat internal control.
3. Melakukan pemisahan fungsi risk manajemen dan fungsi marketing.
4. Selalu mengacu pada best practice dan UCP dalam menangani transaksi L/C.
5. Memberlakukan aturan kewenangan yang berjenjang dalam memutus fasilitas L/C ekspor

perdagangan dalam negeri bag.1

Diposting oleh no

saya akan mencoba membantu teman2 dalam membuat tugas...
dan sekarang saya akan membeberkan tentang PERDAGANGAN DALAM NEGERI
berikut akan saya uraikan ,dan mohan maaf apabila ada kesalahan....


BUTIR - BUTIR PEMIKIRAN PERDAGANGAN INDONESIA 2009 – 2014
39
A INDUSTRI RITEL

Industri ritel merupakan salah satu industri yang strategis di Indonesia. Industri ini merupakan sektor kedua terbesar dalam hal penyerapan tenaga kerja, yaitu menyerap kurang lebih 18,9 juta orang, urutan kedua setelah sektor pertanian yang mampu menyerap sekitar 41,8 juta orang. Industri ritel terbagi menjadi dua jenis:

(1) Ritel Tradisional; dan
(2) Ritel Modern.

Ritel tradisional diwakili oleh pasar-pasar tradisional dan warung-warung kecil di pinggir jalan, sedangkan ritel modern diwakili oleh Carrefour, Ramayana, Indomart, Alfamart, dan sebagainya.

Ritel tradisional di Indonesia memiliki nilai strategis. Pasar ritel tradisional di Indonesia termasuk yang paling sering dikunjungi, yaitu sebanyak 25 kali per bulan, dibandingkan dengan India dan Srilangka yang hanya 11 kali per bulan dan Filipina yang hanya 14 kali per bulan. Ada beberapa keunggulan pasar ritel tradisional, antara lain adalah kemudahan akses bagi pemasok kecil termasuk petani. Selain itu di pasar ritel tradisional dapat terjadi tawar-menawar, barangnya segar, dan dekat dengan rumah, namun pasar ritel tradisional tidak memiliki tempat senyaman pasar ritel modern.

Pasar ritel modern selain memiliki tempat yang nyaman, barang-barangnya pun memiliki standar yang tinggi dan berkualitas karena biasanya perusahaan ritel modern akan menjaga citra perusahaan. Selain itu pelayanannya pun bagus dan juga barang yang tersedia lengkap, dari barang elektronik sampai dengan kebutuhan sehari-hari. Namun, pada pasar ritel modern tidak dapat dilakukan tawar-menawar.


Perkembangan pasar ritel modern di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat. Lima tahun yang lalu hampir semua supermarket berada di Jabotabek, tapi sekarang hanya 50%-nya. Pembangunan supermarket sudah meluas ke pulau-pulau lainnya, bahkan pedesaan besar di Jawa. Awalnya supermarket hanya untuk kalangan A consumers (konsumen kelas Atas). Namun, sekarang telah merambah ke B and C consumers (konsumen menengah bawah).
Ada banyak keuntungan yang dapat diperoleh dari perkembangan ritel modern di Indonesia, antara lain: dimanjakannya konsumen dengan tempat perbelanjaan yang nyaman, keamanan, variasi produk yang beragam, dan juga harga produk yang bersaing. Di sisi lain kehadiran ritel modern menimbulkan beberapa permasalahan, seperti tersingkirnya pasar ritel tradisional. Hal ini tidak terhindarkan dikarenakan kemampuan bersaing mereka yang masih rendah dan juga minimnya modal yang menunjang kegiatan bisnis para peritel tradisional.
Akuisisi Alfamart oleh Carrefour memicu sebuah tanda tanya besar. Betapa tidak, untuk saat ini saja, dalam kategori ritel modern yang menjual barang kebutuhan rumah tangga, Carrefour sudah menjadi ritel dengan omzet terbesar, yaitu sekitar Rp 7,2 triliun. Dengan akuisisi Alfamart, Carrefour akan mendapat keuntungan perluasan pasar dengan tambahan 34 gerai langsung.

Bisnis modern terutama ritel terus melakukan transformasi sebagai respon economic turbulence yang terjadi pada tahun 2008 ini. Persaingan yang ketat membuat beberapa peritel dunia aktif melakukan penetrasi pasar ke emerging market yang banyak di negara berkembang.
Industri Ritel Modern

Awalnya, pasar ritel modern Indonesia dikuasai oleh beberapa pemain ternama yang sudah lama berkecimpung dalam usaha ini seperti: Hero, Indomaret, Ramayana, Matahari, Alfa. Serbuan hypermarket asing yang begitu gencar di tahun 2000-an menjadikan peta persaingan bisnis ritel menjadi makin sengit.

Perkembangan usaha ritel modern nasional selama lima tahun terakhir sungguh mencengangkan. Menurut survei AC Nielsen (2006), jumlah pusat perdagangan, baik hypermarket, pusat kulakan, supermarket, minimarket, convenience store, maupun toko tradisional meningkat hampir 7,4% selama periode 2003-2005. Dari total 1.752.437 gerai pada tahun 2003 menjadi 1.881.492 gerai di tahun 2005. Perkembangan yang sangat tinggi ini menunjukkan bahwa pasar Indonesia memiliki potensi yang sangat menjanjikan bagi usaha ritel. Saat ini kota-kota besar seperti Surabaya, Bandung, Medan, Makasar, dan Semarang menjadi basis perkembangan supermarket. Surabaya menjadi basis perkembangan supermarket dengan persentase hampir 11,6% dari total supermarket di Indonesia.

Hypermart, Makro, Giant dan Carrefour adalah nama-nama yang dikenal bertipe hypermarket. Lahan yang luas, display yang lega, pilihan barang yang sangat bervariatif dan serba ada, sekaligus menawarkan kemudahan berbelanja, menjadi karakteristik mencolok pada hypermarket.
Carrefour, raksasa ritel dari negeri Perancis yang mulai memasuki pasar Indonesia sejak awal 1998, menyebar benih keuntungan di beberapa kota. Modal pengalaman internasional menyebarkan outlet di berbagai penjuru bumi dan memiliki modal besar membuat Carrefour mampu bersaing dengan pasar domestik yang dimasukinya. Diakuisisinya saham PT Alfa Ritelindo Tbk (Alfa) oleh Carrefour, akan memperkokoh posisi Carrefour di pasar ritel Indonesia.
Muncul kekhawatiran bagaimana nasib peritel domestik, bahkan lebih jauh dikhawatirkan akan mengkanibalisasi pasar tradisional. AC Nielsen mencatat, dari tahun ke tahun dimulai tahun 2000, pangsa pasar pasar ritel tradisional terus menurun. Pada awal 2000 pangsa pasar tradisional 78,3% dan makin berkurang menjadi 70,5% di tahun 2005. Makin mengguritanya peritel asing patut diwaspadai akan mengganggu ”wong cilik” yang bekerja pada pasar tradisional. Sejalan dengan terjadinya adanya pergeseran sosial ekonomi, dari kalangan “A Consumers” (konsumen kelas atas), merambah ke “B and C Consumers” (Konsumen menengah dan bawah), maka infrastruktur pasar tradisional mutlak perlu segera diperbaiki.



Persaingan Usaha

Fenomena kebangkitan bisnis ritel sebenarnya sudah terlihat sejak pertengahan tahun 1990an. Survei yang dilakukan AC Nielsen (2006) menunjukkan bahwa jumlah pasar tradisional di Indonesia sebanyak 1,7 juta atau sebesar 73% dari keseluruhan pasar yang ada, sisanya sebanyak 27% berupa ritel pasar modern. Yang lebih mengejutkan adalah survei yang dilakukan FAO (2006) yang menyatakan bahwa antara tahun 1997 hingga 2005, bisnis ritel meningkat hampir 30% dengan pertumbuhan mencapai 15% untuk ritel modern dan 5% untuk pasar tradisional. Hal tersebut menunjukkan terjadinya pergeseran dari pasar rakyat menjadi pasar modern. Tingkat pertumbuhan yang berbeda jauh tersebut diperkirakan akan membuat pasar tradisional makin tersingkir dari arena persaingan. AC Nielsen dalam perhitungannya menyebutkan bahwa eliminasi pasar tradisional setiap tahunnya sebesar 1,5%.
Jurnal Litbang Pertanian, 27(1), 200811ROLE more global with foreign directinvestment bringing state of the art man-agement and logistical techniques as wellas access to global markets (Timmer 2004).The growth of supermarkets and hyper-markets in Indonesia is shown in Figure 1.As the income rise and welfare increa-se, people are faced with many options,choices, and alternatives to spend theirexpenditures on food, especially whenthey are shopping at the modern markets.Supermarkets and hypermarkets havecome to be their best place to get whatthey want since they can function as one-stop-place to buy anything followingchanges in the people’s lifestyles. Theperception of shopping in air conditionand comfortable with fixed prices hasbecome the trend of urban lifestyles. Somepeople go to the supermarkets with theirfamilies as place for recreation or leisureand thus can increase their social status,rather than go to the wet or traditionalmarket with uncomfortable environment.The government role as public nutri-tion provider and distributor is becomingmore and more limited; and replaced bythe private sector. Supermarket and mod-ern market can provide food with highstandard and competitive prices. On theother hand, the existence of modernmarkets agricultural policies and set theagricultural development take place withbalancing the modern and traditionalmarkets that could facilitate farmers andtraders to provide food in line with whatconsumers’ need and meet the standardquality. Meanwhile, effort is needed toeducate and influence consumers to makea good choice of healthy food (Suryana2007). The quality of food consumed hasto meet the minimum standard of dietaryintake and safety. Minimum requirementof food intake includes not only thevolume, but also the quality of food con-sumed.GROWING FAST FOODFast food restaurants have grown tremen-dously in terms of the number of outletsand customers. Fast food can be easilyfound in the modern markets (super-markets and hypermarkets), on the streetsides or anywhere in strategic places. Themenus provided are diverse and variedfrom imported to the local or traditionalfoods. Franchised-fast foods from abroad,for example, are burger, French-fries, pizza,and bento, whereas local or traditional fastfoods for example are local menus avail-processed flected in the large scale tries (Table scale food and 4,639, growing 2003. The ment in the that of situation dium-scale The growth is higher Table 2 and with or industries. either take away of works cookies, and they usually cafeteria they cooking has emerged out or cessed food their food The change incidence In some communities, plus also occurred. and emerged. scape-goat the hypertension sures), high food can food, content. less fat content, Khomsan in health problem equal to that is Figure 1.The number of supermarket and hypermarket in Indonesia, 1997−2003(Harkarlianus 2007).1,2001,0008006004002000Number of store1997199819992000200120022003HypermarketSupermarketMinimarketExpon. (minimarket)Expon. (supermarket)

Fenomena yang terjadi memang menunjukkan bahwa semakin tinggi populasi kemiskinan maka akan semakin banyak munculnya pasar tradisional. Di lain pihak semakin tinggi pendapatan rata-rata masyarakat per kapita, maka semakin besar kelompok konsumen menengah ke atas dan pola konsumen juga dengan sendirinya akan berubah ke pasar modern yang jauh lebih baik dibandingkan pasar tradisional seperti kenyamanan, keamanan, kebersihan, dan parkir yang luas. Survei yang dilakukan CESS (1998) menunjukkan bahwa tempat yang lebih nyaman merupakan faktor utama konsumen memilih pasar, diikuti dengan harga dan kebebasan untuk melihat lihat pada posisi ketiga.
Memang terjadi kecenderungan pergeseran pengeluaran uang para pembeli dari pasar tradisional ke pasar modern. Survei AC Nielsen (2003) menemukan bahwa konsumen di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya, cenderung membelanjakan sebagian besar dari uangnya ke pasar swalayan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan yang cukup besar dari jumlah konsumen ke pasar modern dalam setahun yakni dari sekitar 35% pada tahun 2001 menjadi 48% pada tahun 2002. Sebaliknya, persentase dari total konsumen ke pasar tradisional mengalami penurunan dari 65% ke 52% dalam waktu yang sama. Khususnya di Jakarta, minat konsumen berbelanja ke pasar swalayan meningkat cukup signifikan dari sekitar 31% pada tahun 2001 menjadi 48% pada tahun 2002. Sedangkan yang ke pasar tradisional menurun dari 69% ke 52% selama periode yang sama.

Strategi Pemberdayaan Pasar Tradisional
Perpres No. 112/2007 menyebutkan sejumlah langkah pemerintah dalam upaya memberdayakan pasar tradisional, yaitu:

1) Pemberdayaan pasar tradisional agar dapat tumbuh dan berkembang serasi, saling memerlukan, saling memperkuat serta saling meng-untungkan.

2) Memberikan pedoman bagi penyelenggaraan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern.

3) Memberikan norma-norma keadilan, saling menguntungkan dan
tanpa tekanan dalam hubungan antara pemasok barang dengan toko modern.

4) Pengembangan kemitraan dengan usaha kecil, sehingga tercipta tertib persaingan dan keseimbangan kepentingan produsen, pemasok, toko modern, dan konsumen.

Keberadaan pasar tradisional harus mendapatkan perhatian yang lebih serius mengingat usaha kecil terbukti tidak rentan terhadap efek krisis multidimensional yang melanda Indonesia sejak 1997. Perubahan bertahap menuju pelayanan seperti ritel modern juga harus dikembangkan oleh pasar tradisional agar tidak tersingkir dalam perebutan konsumen.

Strategi pemberdayaan pasar tradisional dapat dilakukan dengan dua jenis strategi, yaitu strategi jangka pendek dan strategi jangka panjang. Strategi jangka pendek adalah dengan melakukan:
1) Pembangunan fasilitas dan renovasi fisik pasar
2) Peningkatan kompetensi pengelola pasar
3) Melaksanakan program pendampingan pasar
4) Penataan dan pembinaan pasar (Perpres No.112/2007)
5) Optimalisasi pemanfaatan lahan pasar

Sedangkan strategi pembinaan jangka panjang dapat dilakukan dengan cara:
1) Pengembangan konsep koridor ekonomi pasar tradisional
2) Perbaikan jaringan suplai barang ke pedagang pasar
3) Pengembangan konsep pasar sebagai koridor ekonomi (pasar wisata)
4) Kompetisi pasar bersih (penghargaan dan sertifikasi)

Untuk melakukan kedua strategi tersebut harus ada langkah yang terintegrasi. Langkah yang terintegrasi dapat dilakukan bila ada dukungan, berupa:
1) Kebijakan fiskal yang tepat dan efektif
2) Program KUR (Kredit Usaha Rakyat)
3) Program kredit lunak pembangunan pasar, dukungan DAWA untuk


pembangunan infrastruktur perdagangan di daerah, dan program kemitraan dengan pemerintah, pemda, BUMN, dan swasta.
Pemerintah pusat dan daerah, baik secara mandiri maupun bersamaan, harus melakukan pembinaan dan pengawasan pasar tradisional dan toko modern sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Pembinaan dan pengawasan untuk pasar tradisional dilakukan dengan cara:
1) Mengupayakan sumber-sumber alternatif pendanaan untuk pem-berdayaan
2) Meningkatkan kompetensi pedagang dan pengelola
3) Memprioritaskan kesempatan memperoleh tempat usaha bagi pedagang pasar tradisional yang telah ada sebelum dilakukan renovasi atau relokasi
4) Mengevaluasi pengelolaan
Untuk pasar modern, pembinaan dan pengawasan dapat dilakukan dengan cara memberdayakan pusat perbelanjaan dan toko modern dalam membina pasar tradisional dan juga mengawasi pelaksanaan kemitraan. Pemberdayaan pusat perbelanjaan modern untuk membina pasar tradisional dapat dilakukan dengan memanfaatkan pasar tradisional sebagai pemasok utama barang-barang yang ada di pusat perbelanjaan modern.

Berbagai persoalan utama dalam industri ritel Indonesia terletak pada ketidakmampuan pelaku usaha ritel tradisional untuk bersaing dengan pelaku usaha ritel modern, baik dari aspek keuangan maupun manajemen usaha. Kemampuan permodalan kedua belah pihak sangat jauh berbeda sekali sehingga value creation yang dihasilkan pelaku usaha ritel modern sama sekali tidak dapat dilakukan oleh pelaku usaha ritel tradisional.

Perlu adanya keberpihakan negara terhadap UMKM. Keberpihakan di sini memiliki pengertian bahwa regulasi itu harus melindungi UMKM, tapi dikembangkan secara sehat, transparan, dan akuntabel. Kemudian UMKM harus dilindungi secara hukum nasional maupun lokal agar keberlangsungan usaha mendapatkan perlindungan yang pasti.

Terakhir pemerintah harus mendorong pertumbuhan produksi dalam negeri yang berkualitas dan mengoptimalkan skema kredit perbankan dan program kemitraan.

B. Waralaba

Bisnis waralaba atau franchise, diperkirakan akan terus meningkat. Kenapa waralaba diperkirakan tetap tumbuh meski di saat ekonomi sulit? Salah satu alasannya adalah pola franchise dalam pengembangan usahanya yang lebih mudah. Pemilik usaha dapat mempercepat pertumbuhan outletnya dengan tidak perlu menunggu terkumpulnya modal karena sang franchisee (pembeli hak franchise)/investor yang akan memberikan modal. Dengan pola tersebut maka jaringan dapat dengan cepat meluas.
Definisi waralaba dalam peraturan terbaru tentang waralaba (PP no 42 tahun 2007) adalah ”hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”. Waralaba harus memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Memiliki ciri khas usaha;
2. Terbukti sudah memberikan keuntungan;
3. Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis;
4. Mudah diajarkan dan diaplikasikan;
5. Adanya dukungan yang berkesinambungan;
6. Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar.

Menurut International Franchise Association, secara umum terdapat beberapa bentuk format bisnis waralaba, yaitu:
1. Unit franchising
2. Area development franchising
3. Subfranchising
4. Conversion or affiliation franchising
5. Nontraditional franchising.

Sistem franchise merupakan salah satu konsep pemasaran diusulkan oleh ILO – International Labor Organization pada pemerintah RI, dalam hal ini Departemen Perdagangan guna menciptakan lapangan pekerjaan dan menggiatkan perekonomian.
Pada tahun 1991 ILO membiayai suatu studi yang merupakan suatu base line studi dan mendatangkan ahli franchise, Mr. Martin Mendelsohn untuk mempelajari dan merekomendasikan suatu program guna mengembangkan situasi bisnis di Indonesia.


Waralaba di Indonesia

Waralaba (franchise) berkembang pesat di Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini. Di tahun 2007 jumlah penjualan melalui pola waralaba ini telah mencapai Rp 81 Triliun rupiah atau US$9 Milyar.
Dalam laporan dan rekomendasinya yang termuat dalam dua (2) buku, Martin Mendelsohn merekomendasikan untuk mendirikan suatu Franchise Resource Centre, yang merupakan badan semi pemerintah di bawah koordinasi (Departemen Perdagangan) dan bertujuan untuk :
• Mensosialisasikan sistem franchise
• Mendirikan perpustakaan
• Membantu merekrut tenaga-tenaga ahli franchise untuk mendidik dan melatih konsultan franchise
• Mendirikan pula pilot sentra di pusat dan di provinsi-provinsi
• Mengadakan kerja sama dengan Perguruan Tinggi dan Lembaga Keuangan serta Institusi terkait lain
• Membantu mendirikan Asosiasi Franchise oleh pihak swasta.
• Mengadakan networking dengan asosiasi-asosiasi industri lain, pusat-pusat atau sentra-sentra UKM, Perbankan.
• Mengadakan pelatihan-pelatihan pada tingkat akademis dan lembaga.
• Diadakan fasilitasi perkreditan melalui perbankan
Secara historis, jika dilihat dari tahun berdiri, pertumbuhan bisnis waralaba di Indonesia kebanyakan bermunculan antara tahun 2006 hingga 2008. Pada dua tahun terakhir ini bisnis yang diwaralabakan mencapai 56,7%. Sedangkan antara 2000-2005, bisnis yang diwaralabakan hanya 35,4%. Pertumbuhan waralaba di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 3 Gambar ini menunjukkan bahwa mulai tumbuhnya bisnis waralaba secara masif pada periode antara 2006-2008. Sehingga diperkirakan pertumbuhan jenis usaha yang mewaralabakan usahanya akan terus melaju pada tahun 2008, tahun di mana franchise menjadi sebuah trend bisnis yang akan terus berkembang.

Dalam PP No.42 tahun 2007 dikemukakan salah satu persyaratan sebagai waralaba, yaitu sudah harus bisa bertahan dalam lima tahun. Jangka waktu akan lima tahun ini menjadi semacam uji coba bagi bisnis tersebut agar dapat diwaralabakan. Waralaba yang hanya dapat bertahan dalam kurun 1-
44.50%21.40%23.70%6.80%3.60%35.40%56.70%5.80%1.50%0.60%0.00%10.00%20.00%30.00%40.00%50.00%60.00%SEBELUMTAHUN 1980TAHUN 1980-1989TAHUN 1990-1999TAHUN 2000-2005TAHUN 2006-2008Usaha Berdiri Usaha Diwaralabakan


2 tahun merupakan tanda bahwa bisnis waralaba tersebut hanya musiman. Dari sekian banyak waralaba yang gulung tikar terdapat bisnis waralaba yang masih dapat bertahan, bahkan dominan dalam lahan bisnisnya.
Karakteristik waralaba di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 4. Dari total seluruh waralaba yang ada di Indonesia, jenis usaha yang paling banyak adalah berupa usaha makanan dan minuman dengan persentase sebesar 42,9% dan jasa pendidikan sebesar 17,8% (Info Franchise, 2008). Konsep usaha franchise ternyata lebih dominan daripada konsep business opportunity dengan persentase 58,8% berbanding 30,5%. Sebanyak 64, 3% waralaba di Indonesia masih dikuasai oleh pengusaha lokal, sedang pengusaha asing masih berada di 35,7 %.
PP No.42 tahun 2007

Dalam memantau implementasi Inpres No. 6/2007, PP Nomor 16 Tahun 2007 tentang waralaba diganti dengan peraturan dalam bentuk PP No. 42 Tahun 2007 tentang waralaba. Peraturan ini dikeluarkan dalam rangka meningkatkan tertib usaha waralaba serta meningkatkan kesempatan usaha nasional. Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang waralaba (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3690) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Terkait dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 42/2007 tentang waralaba sebagai salah satu hasil produk hukum dari Inpres No. 6/2007 sebenarnya menimbulkan masalah baru dalam pengembangan UMKM. Ada beberapa substansi PP baru ini mungkin tanpa disadari justru potensial menghambat tumbuhnya UMKM menjadi pemberi waralaba nasional yang andal, karena beratnya persyaratan yang ditetapkan dan tentu saja akan sulit dipenuhi oleh usaha kecil. Misalnya, aturan tentang “bimbingan dalam bentuk pelatihan, penelitian dan pengembangan” dan seterusnya. Salah satu permasalahan adalah tampaknya hanya perusahaan–perusahaan besar yang sanggup menjadi pemberi waralaba, suatu hal yang bertolak belakang dengan semangat dan maksud PP No. 42/2007 dibuat.

C. KEAGENAN

Secara klasik perbedaan Waralaba dan Keagenan ada pada tingkat eksklusivitasnya. Waralaba eksklusif dan disertai dengan ketentuan-ketentuan yang ketat. Di mana merek sudah ditentukan oleh pemilik hak waralaba, sistem bisnis yang sudah baku dan konsep bisnis diatur dari A-Z sehingga tidak bisa seorang pembeli hak waralaba mengubah konsep bisnis yang menyimpang dari aturan dan bimbingan dari pewaralaba.

Sedangkan pada jenis usaha keagenan dapat tidak eksklusif sehingga semua orang bisa masuk pada jenis usaha ini. Keagenan lebih mirip lisensi (Product and Trade Name Franchising). Lisensi dan keagenan memiliki catatan khusus dalam pengembangannya. Seyogyanya setiap pembeli lisensi berhati-hati karena tidak semua lisensi yang dibeli dapat berhasil di pasar. Umum terjadi bahwa para pelaku usaha mengambil sembarang merek yang tidak mereka kuasai ilmunya. Sebaiknya pelajari dulu prospek, pemasaran dan harga dari lisensi yang ingin di beli

Tahun-tahun ke depan, dapat diprediksi Indonesia akan menjadi ladang yang “basah” bagi bisnis waralaba, lisensi dan keagenan. Hanya saja, seleksi alam akan terjadi, apalagi dengan dikeluarkannya PP No 42 tahun 2007. Bagi pewaralaba atau pemegang lisensi/keagenan yang dapat mengelola bisnisnya dengan baik, akan tetap hidup dan mekar. Namun sebaliknya, yang tidak dapat bertahan akan mundur teratur.

D. Rekomendasi tentang Perdagangan Dalam Negeri

Dalam pengelolaan kebijakan dan strategi usaha perdagangan dalam negeri, direkomendasikan beberapa butir pemikiran sebagai berikut:
1. Keberpihakan pada produk Indonesia
Kebijakan perdagangan dalam negeri Indonesia perlu menunjukkan keberpihakan pada kepentingan nasional dengan memberikan jaminan tersedianya etalase berdagang yang lebih leluasa bagi perusahaan dan produk Indonesia.
2. Keleluasaan berusaha bagi pelaku usaha Indonesia
Usaha dagang dalam bentuk ritel, grosir, waralaba, keagenan, distribusi, dan usaha dagang lainnya perlu diprioritaskan bagi pelaku usaha Indonesia.
3. Pengembangan merek dan promosi
Dalam rangka meningkatkan daya saing perusahaan dan produk Indonesia, diperlukan pengembangan merek dan promosi terpadu. Pemerintah dan pelaku usaha perlu memberi perhatian pada pengembangan merek dan promosi, termasuk dengan menyediakan anggaran dan merumuskan program yang tepat.
4. Modernisasi peritel tradisional
Perubahan gaya belanja konsumen Indonesia perlu direspon oleh peritel tradisional dengan melakukan modernisasi dengan fasilitasi dari pemerintah dan dukungan peritel modern.