dasar hukum L/C

Diposting oleh no Jumat, 24 April 2009

hm .......
kali ini saya mau meberikan sedikit informasi tentang l/c,
berikut ini uraianya...




Dasar hukum dari suatu L/C adalah klausula dalam kontrak jual beli yang menundukkan diri kepada Uniform Customs and Practices for Documentary Credit (disingkat UCP), hukum setempat (di Indonesia termasuk peraturan di bidang perbankan), dan kebiasaan dalam perdagangan (trade usage). International Chamber of Commerce (ICC) pada tahun 1933 telah menyeragamkan L/C dengan terbentuknya Uniform Customs and Practices for Documentary Credir (UCP).


UCP pertama diterbitkan pada tahun 1933 dengan brosur Nomor 82. Selanjutnya UCP pertama itu mengalami revisi-revisi agar memenuhi kebutuhan bisnis internasional yang terus berkembang. Revisi pertama terjadi pada tahun 1951, kedua pada tahun 1962, ketiga pada tahun 1972, keempat pada tahun 1983 yang dikenal dengan nama UCP 400, dan kelima atau terakhir pada tahun 1993 dengan terbitan Nomor 500 sehingga lebih populer dengan sebutan UCP 500.
Secara umum materi pokok Sales Contract berisi hal-hal berikut ini.
1. Nama Penjual (Seller)
2. Nama Pembeli (Buyer)
3. Barang yang diperjualbelikan dengan spesifikasi tertentu (berat, ukuran, kualitas, packing, dll.)
4. Harga
5. Ketentuan Penjualan (Commercial Terms)
a. FOB (Free on Board)
b. C & F (Cost and Freight)
c. CIF (Cost Insurance & Freight)
6. Pelabuhan Asal
7. Pelabuhan Tujuan
8. Transportasi
Pengalihan diperbolehkan/dilarang (Transhipment: Allowed/ Prohibited)
9. Pengiriman Barang
10. Ketentuan Pembayaran
a. L/C : Letter of Credit
b. D/P : Document Againts Payment
c. D/A : Document Againts Acceptance
11. Sertifikat-sertifikat
a. COO (Certificate of Origin)
b. Export License
12. Dan lain-lain yang dianggap perlu.
Mekanisme L/C secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Diadakan kontrak jual beli antara penjual kepada pembeli dalam jual beli mana pembeli diwajibkan membuka L/C.
2. Kemudian pembeli mengajukan aplikasi L/C kepada Bank Devisa langganannya untuk manfaat pihak penjual.
3. Bank penerbit mengirim surat L/C kepada penikmat melalui bank korepondennya di negara penikmat.
4. Advising bank memberitahu penikmat bahwa kepadanya telah dibuka L/C.
5. Setelah penikmat menerima L/C, dia lantas mengirim barang kepada pembeli.
6. Dokumen asli diserahkan kepada advising bank dan duplikat dikirim kepada pembeli.
7. Dilakukan pembayaran oleh advising bank setelah meneliti kelengkapan dokumen.
8. Dokumen yang telah diterima oleh advising bank kemudian dikirim ke issuing bank.
9. Setelah menerima dokumen-dokumen issuing bank membayar kepada advising bank.
10. Pembuka kredit membayar semua kewajiban kepada issuing bank setekah dinotifikasi oleh issuing bank bahwa semua dokumen telah datang.
11. Issuing bank mengirim dokumen asli kepada pembuka kredit, berdasarkan dokumen-dokumen mana barang-barang dapat diminta dari pengangkut.
Tahapan pembayaran dengan L/C secara ringkas sebagai berikut:
a. Penjual dan pembeli di luar negeri setuju dalam sales contract bahwa payment dilakukan menurut documentary credit.
b. Pembeli memberikan instruksi kepada bank di kediamannya (The Issuing Bank) untuk membuka documentary credit untuk penjual.
c. The Issuing Bank mengatur dengan bank di domisili penjual (Correspondent Bank) untuk melakukan negosiasi, menerima, atau membayar exporter draft atas penyerahan dari dokumen pengapalan.
d. Correspondent Bank memberitahu kepada penjual untuk menegosiasi, menerima, atau membayar exporter draft atas penyerahan dokumen pengapalan.
Beberapa risiko umum L/C adalah:
1. Barang yang diperjualbelikan tidak sesuai dengan yang diinginkan. Padahal ketepatan barang ini sangat penting dalam ekspor/impor yang menggunakan L/C karena pembayaran semata-mata didasarkan pada dokumen bukan pada barang.
2. Opening bank sengaja tidak membayar (default)
3. Situasi dan kondisi negara salah satu atau beberapa pihak yang terkait tidak baik sehingga mengakibatkan L/C tidak dibayar (high country risk)
Selain beberapa risiko di atas dikenal juga risiko fasilitas. Dalam kaitan ini risiko terjadi karena kegagalan nasabah melunasi kewajiban pembayaran Sight L/C maupun Usance L/C yang telah jatuh tempo. Kegagalan ini kebanyakan disebabkan beberapa hal berikut ini.
1. Kondisi keuangan (cash flow) debitur  Credit Risk
2. Pengaruh forex (jatuhnya nilai IDR)  Exchange Risk
3. Barang yang diimpor tidak laku(ULC)  Commercial Risk
4. kondisi ekonomi, sosial, politik, keamanan Country Risk
Sengketa
Dalam kehidupan sehari-hari setiap orang tentu menghendaki segala sesuatu berjalan dengan baik tanpa masalah apapun terlebih berupa sengketa. Akan tetapi, pada kenyataannya hidup ini tidak pernah luput dari masalah. Tidak heran tidak hanya masalah yang muncul melainkan sengketa juga.
Beberapa diantara masalah/sengketa itu hadir tanpa dikehendaki atau tidak dapat dicegah oleh seseorang sebab bermula dari pihak lain. Dengan demikian tidak ada seorang pun dapat memastikan dirinya akan senantiasa luput dari sengketa. Sehubungan dengan kenyataan itu setiap orang nampaknya perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi masalah dan/atau sengketa sehingga tetap dapat menjaga kepentingannya. Bahkan pada saat-saat tertentu seseorang perlu mempunyai kemampuan untuk melihat masalah atau sengketa sebagai sebuah peluang yang mesti dimanfaatkan bukan sekedar masalah yang harus dihindari. Sebagai sebuah peluang yang dapat dimanfaatkan sudah selayaknya kita mengenal seluk beluk penyelesaian sengketa.
Ibarat pisau yang dapat bermanfaat jika digunakan secara benar dan merugikan orang lain serta diri sendiri jika digunakan secara salah demikian pulalah penyelesaian sengketa. Dengan mengetahui beberapa segi penting penyelesaian sengketa diharapkan akan memiliki dasar pertimbangan untuk menggunakan penyelesaian sengketa secara tepat. Kapan harus menggunakan cara-cara penyelesaian sengketa, kapan harus menghindari. Kalau pun sudah yakin perlu memanfaatkan penyelesaian sengketa masih harus memilih cara penyelesaian sengketa yang paling tepat di antara cara-cara yang ada.
Sengketa dapat terjadi karena berbagai sebab, terutama perbuatan melawan hukum dan cidera janji (wanprestasi). Terhadap sengketa yang terjadi pihak-pihak yang terkait dapat menaruh berbagai keinginan atau harapan. Keinginan ini sangat berpengaruh pada upaya-upaya penyelesaian sengketa terutama pilihan terhadap cara-cara penyelesaian yang ada. Hal ini berkaitan erat dengan putusan yang dapat dihasilkan dari masing-masing cara penyelesian berbeda satu sama lain. Kekeliruan atas pilihan cara penyelesaian bukan hanya dapat menyebabkan ketidakpuasan melainkan kegagalan. Penyelesaian perbuatan melawan hukum dapat diselesaian melalui pengadilan sedangkan wanprestasi melalui pengadilan negeri, arbitrase, atau cara-cara lain yang tersedia.
Secara garis besar dikenal dua kelompok besar penyelesaian sengketa, yaitu melalui persidangan di dalam pengadilan dan di luar pengadilan. Menurut pengalaman dan pengamatan, beberapa permasalahan, terutama permasalahan keluarga dan bisnis, lebih baik diselesaikan di luar pengadilan. Terdapat berbagai alasan yang mendukung pilihan ini, seperti kemungkinan untuk tetap menjaga hubungan baik di antara pihak-pihak yang bermasalah.
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Secara konvensional, penyelesaian sengketa biasanya dilakukan secara litigasi atau penyelesaian di muka pengadilan. Dalam keadaan demikian, posisi para pihak yang bersengketa sangat antagonis (saling berlawanan satu sama lain). Penyelesaian sengketa bisnis model ini tidak direkomendasikan. Kalaupun akhirnya ditempuh, penyelesaian itu semata-mata hanya sebagai jalan yang terakhir (ultimatum remedium) setelah alternatif lain dinilai tidak membuahkan hasil.
Hukum acara perdata mengenal dua kewenangan, yaitu: a. wewenang mutlak, dan b. wewenang relatif. Wewenang mutlak menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari macam pengadilan, menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili (attributie van rechtsmacht).
Wewenang relatif menyangkut pembagian kekuasaan mengadili antar pengadilan yang serupa, terutama tergantung tempat tinggal tergugat (distributie van rechtsmacht). Dalam literatur ditemukan istilah lain, yaitu kekuasaan yang bersifat bulat atau absolut (absolute kompetentie) dan kekuasaan yang bersifat terperinci atau relatief (relatieve kompetentie).
Kekuasaan (wewenang) absolut dinamakan juga atribusi kekuasaan menyangkut wewenang berbagai jenis pengadilan dalam suatu negara dan lazim diatur dalam undang-undang yang mengatur susunan dan kekuasaan badan-badan pengadilan. Sedangkan kekuasaan relatif atau distribusi kekuasaan yaitu pembagian kekuasaan antara badan-badangn pengadilan yang sejenis lazim diatur dalam undang-undang tentang hukum acara.
Orang yang merasa haknya dilanggar disebut penggugat dan orang yang ditarik ke muka pengadilan karena dianggap melanggar hak seseorang atau beberapa orang disebut tergugat. Apabila ada banyak penggugat atau banyak tergugat, mereka disebut penggugat I, penggugat II, penggugat III, dan seterusnya. Demikian pula jika ada banyak tergugat, mereka disebut tergugat I, tergugat II, tergugat III, dan seterusnya.
Selain itu, dikenal juga turut tergugat, yaitu orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu tetapi demi kelengkapan suatu gugatan harus diukutsertakan. Dalam petitum turut tergugat ini hanya sekedar dimohonkan agar tunduk dan taat terhadap putusan hakim.
Mengenai hal di atas Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata berpendapat sebagai berikut.
Penggugat adalah seorang yang “merasa” bahwa haknya dilanggar dan menarik orang yang “dirasa” melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu perkara ke depan hakim. Sengaja dipakai perkataan “merasa” dan “dirasa” oleh karena belum tentu yang bersangkutan sesungguh-sungguhnya melanggar hak penggugat.
Surat gugat ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya dan memuat tanggal gugatan, nama, tempat tinggal, jabatan penggugat dan tergugat. Gugatan mesti memuat penjelasan mengenai permasalahan dan dasar dengan jelas (Fundamentum Petendi atau Posita). Posita terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang memuat alasan-alasan berdasarkan keadaan dan bagian yang memuat alasan-alasan berdasarkan hukum. Selain itu gugatan harus pula dilengkapi dengan petitum, yaitu hal-hal yang ingin diputuskan, ditetapkan, atau diperintahkan oleh hakim.
Perkara di pengadilan tidak hanya berupa gugatan, melainkan dikenal juga permohonan. Perbedaan utama antara gugatan dengan permohonan adalah sengketa atau konflik. Dalam gugatan terdapat sengketa sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa. Oleh karena itu, putusan hakim dalam permohonan berupa penetapan atau putusan declaratoir saja, yaitu putusan yang bersifat menetapkan atau menerangkan saja. Pada hakikatnya setiap orang boleb berperkara di depan pengadilan, kecuali orang yang belum dewasa (diwakili orang tua atau wali) dan sakit ingatan (diwakili pengampu).
Sebagaimana telah dikemukakan di muka, terhadap suatu sengketa pihak-pihak yang terkait dapat memiliki beraneka ragam keinginan. Jika penyelesaian melalui pengadilan menjadi pilihan maka keinginan itu dituangkan dalam suatu dokumen yang disebut gugatan. Putusan hakim atas suatu gugatan berupa penghukuman (condemmnator). Putusan semacam ini akan memuat pengakuan tentang hak penggugat dari pihak lain. Jika tergugat tidak mau melaksanakan putusan ini secara suka rela maka dapat dipaksakan melalui eksekusi.
Tujuan dari suatu gugatan disampaikan dalam bentuk tuntutan (petitum) yang merupakan permintaan kepada hakim untuk diputuskan. Petitum mesti dibuat secara jelas dan tegas serta tidak ada pertentangan satu sama lain. Remember that good writing makes the reader’s job easy; bad writing makes it hard.
Tuntutan dapat berupa tuntutan pokok, tuntutan tambahan, dan tuntutan provisional. Adapun alasan yang dapat dipakai untuk pengajuan gugatan adalah: Wanprestasi oleh debitur, perbuatan melawan hukum, perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad), dan kebatalan.
Suatu gugatan mesti memenuhi beberapa syarat tertentu, yaitu syarat formal dan syarat material. Syarat formal mencakup formalitas yang mesti dipenuhi suatu gugatan, yaitu: tempat dan tanggal surat gugatan, pemberian materai, tanda tangan pengugat atau kuasa. Sedangkan syarat material meliputi: identitas para pihak dan posita (fundamentum petendi). Posita berisi dasar dan alasan pengajuan gugatan yang biasanya terdiri dari dua bagian: 1. Uraian kejadian yang disengketakan (factual grounds). 2. Uraian tentang dasar hukum gugatan (legal grounds). Posita akan meliputi objek perkara, fakta hukum, kualifikasi perbuatan tergugat, uraian kerugian, dan petitum.
Pada saat ini dapat dikatakan sebagian besar gugatan dilakukan secara tertulis meskipun dimungkinan secara lisan. Gugatan secara tertulis disampaikan melalui surat kepada Ketua Pengadilan. Demikian juga dengan gugatan secara lisan disampaikan kepada Ketua Pengadilan.
Persidangan di pengadilan secara umum akan terdiri dari tahapan berikut ini. Pada persidangan pertama hakim akan mengusahakan perdamaian di antara para pihak yang bersengketa. Apabila tidak tercapai perdamaian kemudian dilakukan pembacaan gugatan oleh penggugat.
Persidangan kedua merupakan kesempatan bagi tergugat untuk menyampaikan tanggapan atau jawaban atas gugatan yang disampaikan penggugat pada sidang pertama. Hal-hal yang dapat disampaikan tergugat dalam jawaban meliputi hal-hal berikut ini.
Eksepsi atau tangkisan yaitu tanggapan atau jawaban atas formalitas gugatan yang tidak berkaitan langsung dengan pokok perkara. Eksepsi dapat meliputi eksepsi material dan prosesual. Eksepsi material terdiri dari eksepsi dilatoir dan peremtoir. Eksepsi dilatoir didasarkan pada ketentuan hukum material berupa keinginan agar dilakukan penundaan pemeriksaan gugatan oleh pengadilan. Sedangkan eksepsi peremtoir dimaksudkan untuk menggagalkan gugatan.
Adapun eksepsi prosesual berkaitan dengan hukum formal yang meliputi eksepsi declinator, litispendensi, nebis in idem, plurium litis consortium, diskualifikator. Eksepsi declinator berkaitan dengan kewenangan pengadilan mengadili perkara berkaitan dengan kompetensi absolutdan relatif. Eksepsi litispendensi merupakan pernyataan bahwa perkara yang diajukan pernah diperiksa tetapi belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Eksepsi plurium litis consortium merupakan pernyataan agar gugatan ditolak karena mengandung cacat formal seperti kesalahan pihak yang digugat. Eksepsi diskualifikator merupakan pernyataan tentang ketidakwenangan penguggat untuk mengajukan gugatan kepada penggugat.
Selain eksepsi disampaikan juga jawaban atas pokok perkara (konpensi) yang memuat pengakuan atau pembenaran dalil yang disampaikan penggugat, sangkalan atas dalil yang dikemukakan penggugat, atau fakta baru yang belum disampaikan penggugat dalam gugatan. Selain itu tergugat dapat menyampaikan gugatan balik (rekonpensi). Dengan adanya rekonpesi terdapat gabungan dua tuntutan, tuntutan dari penggugat dan tuntutan dari tergugat. Tujuan dari rekonpensi untuk menghemat biaya, mempermudah prosedur, dan menghindari putusan yang bertentangan mengenai perkara yang mempunyai dasar atau hubungan hukum yang sama.
Selanjutnya pada sidang ketiga penggugat berkesempatan menyampaikan jawaban balasan (replik). Selain itu, penggugat jika ada rekopensi sebagai tergugat dan rekonpensi dapat menyampaikan jawaban atas dalil-dalil yang dikemukan tergugat dalam gugatan rekonpensi.
Pada sidang keempat tergugat menyampaikan duplik sebagai tanggapan atas dalil-dalil yang disampaikan penggugat dalam replik. Jika tergugat mengajukan rekonpensi maka tergugat juga dapat mengajukan duplik atas replik yang dikemukakan penggugat sebagai tergugat dalam rekonpensi.
Pada sidang kelima penggugat menyampaikan bukti-bukti untuk membenarkan dalil-dalil yang telah disampaikan pada sidang-sidang sebelumnya.
Pada sidang keenam tergugat menyampaikan bukti-bukti untuk menyangkal dalil-dalil yang disampaikan penggugat sekaligus menyampaikan bukti-bukti atas dalil yang disampaikan dalam rekonpensi. Pada persidangan ini kepada para pihak yang bersengkera diberikan kesempatan untuk menyampaikan pertanyaan atau sangkalan atas bukti-bukti yang diajukan pihak lain.
Selanjutnya pada sidang ketujuh para pihak menyampaikan kesimpulan dari sidang-sidang yang telah dilaksanakan. Akhirnya, pada sidang kedelapan hakim pengadilan negeri akan menjatuhan putusan atas perkara yang diperiksa.
Mengenai putusan dikenal ada dua jenis: putusan sela (interlocutoir beslag) dan putusan akhir (eind beslag). Putusan sela merupakan putusan hakim yang dijatuhkan sebelum putusan akhir.
Ada tiga putusan sela: 1. Putusan prepator, yaitu putusan untuk mempersiapkan dan mengatur pemeriksaan tetapi tidak mempengaruhi pokok perkara. 2. Putusan interlokator, yaitu putusan yang berisi perintah pembuktian yang mempengaruhi pokok perkara. 3. Putusan provisional, yaitu putusan yang berupa tindakan sementara untuk kepentingan salah satu pihak yang bersengketa.
Sementara itu, putusan akhir merupakan putusan hakim mengenai pokok perkara yang merupakan akhir dari tingkat pengadilan tertentu. Putusan akhir meliputi putusan verstek, putusan deklarator (menerangkan suatu keadaan hukum), putusan konstitutip (menghapuskan suatu keadaan hukum), putusan kondemnator (menghukum salah satu pihak yang bersengketa), dan putusan kontradiktor.
Jika para pihak yang bersengketa di pengadilan negeri merasa tidak puas atas putusan hakim, dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi yang membawahi pengadilan negeri tersebut. Permohonan banding diajukan dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan diucapkan atau diberitahu apabila putusan diucapkan tanpa kehadiran pihak.
Jika ada pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan banding dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Kasasi merupakan upaya hukum terakhir bagi pihak-pihak yang bersengketa. Berbeda dengan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang memeriksa perkara (judex factie), mahkamah agung hanya akan memerika masalah hukum dan penerapan hukum (judex juris). Dalam kasasi tidak ada lagi pemeriksaaan bukti-bukti. Adapun alasan pengajuan kasasi adalah: tidak berwenang atau melampaui batas wewenang, salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, dan lalai menuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dikenal juga upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK). PK dapat diajukan untuk membatalkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 180 hari sejak putusan berkekuatan hukum tetap atau sejak ditemukan bukti-bukti baru (novum). Adapun alasan PK meliputi:
1. Putusan terdahulu didasarkan pada kebohongan, tipu muslihat, atau bukti-bukti palsu.
2. Ditemukan bukti baru
3. Putusan mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut.
4. Ada bagian dari tuntutan yang belum diputus
5. Putusan bertentangan satu sama lain padahal yang berperkara sama, persoalan sama, dasar hukum sama, jenis pengadilan sama, tingkat pengadilan sama.
6. Terdapat kekhilapan atau kekeliruan.
Terhadap permohonan PK ini Mahkamah Agung dapat menjatuhkan putusan berupa permohonan PK tidak dapat diterima, permohonan PK ditolak, atau permohonan PK dikabulkan. Setelah PK tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh. Dengan demikian setelah PK setiap pihak yang bersengketa harus menaati dan melaksanakan putusan.
Dari uraian yang telah disampaikan dapat dikatakan tidaklah terlalu mudah menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, dari segi waktu cukup lama, demikian pual dari segia biaya akan cukup mahal. Oleh karena itu pencegahan sengketa selalu saja lebih baik dari pada menyelesaikaan sengketa. Jangankan pihak-pihak yang berperkara, para pengacara pun sering kali merasa enggan menyelesaikan sengketa melalui pengadilan. Tidak heran kalau ada pengacara yang kemudian tidak mau lagi menjadi pengacara justru setelah menyelesaikan suatu sengketa melalui pengadilan meskipun berada di pihak yang memang. The truth is, I never wanted to be a lawyer anyway.
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Sebagaimana telah disampaikan di muka, penyelesaian sengketa melalui pengadilan masih menyisakan berbagai persoalan sehingga dirasakan perlu ada cara-cara penyelesaian sengketa lain di luar pengadilan berupa arbitrase maupun beberapa alternatif penyelesaian sengketa lain seperti konsultasi, negosiasi, mediasi, atau konsiliasi. Keberadaan upaya-upaya penyelesaian ini di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama tetapi semakin populer setelah diberlakukan UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase).
Dalam Undang-Undang ini dikemukakan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Arbitrase sejak awal diadakan sebagai sarana penyelesaian sengketa alternatif (alternatif dispute resolution) di luar pengadilan (ordinary court). Beberapa kekurangan pengadilan seperti waktu yang lama dan biaya yang mahal diharapkan dapat diatasi arbitrase. Oleh karena itu sejak semula arbitrase dirancang sebagai penyelesaian sengketa yang cepat dan murah bagi para pihak yang bersengketa (quick and lower in time and money to the parties). Akan tetapi pada kenyataannya, paling tidak menurut pengamatan saya, khususnya di Indonesia, arbitrase sulit dikatakan lebih cepat dan murah. Dalam beberapa hal pemberlakuan UU Arbitrase justeru telah menimbulkan masalah baru.
Sebagai gambaran awal dapat dikemukakan tiga putusan arbitrase yang dibatalkan oleh Pengadilan Negeri (PN) di Indonesia, yaitu: Putusan Arbitrase Swiss dalam sengketa antara Pertamina vs Karaha Bodas; Putusan Arbitrase BANI dalam sengketa jual beli kertas uang Rupiah antara Perum Peruri vs PT Pura Barutama; dan Putusan Arbitrase ad hoc dalam sengketa menyangkut sales agreement untuk pembelian material SWRCH&R yang akan digunakan untuk pembuatan bahan produk balok lempengan baja antara PT Krakatau Steel vs International Piping Product Inc (IPP). Berbagai putusan PN itu bukan hanya telah menimbulkan perdebatan baru di antara para pihak yang bersengketa, melainkan di masyarakat luas bahkan di luar negeri.
Antara arbitrase dan PN sampai sekarang tidak dapat dipisahkan sebab dalam beberapa hal masih harus “bekerjasama”, seperti dalam rangka pelaksanaan putusan arbitrase dan pembatalan putusan arbitrase. Terutama mengenai pembatalan putusan arbitrase oleh PN akhir-akhir ini semakin sering terjadi sehingga dipandang perlu untuk dicermati.
Mengenai pembatalan putusan arbitrase oleh PN dalam UU No 30 Tahun 1999 diatur di Bab VII Pasal 70-72. Dalam Pasal 70 dinyatakan bahwa terhadap putusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentuka yang sengaja disembunyikan oleh pihak lawan
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa
Sementara itu dalam penjelasan umum UU Arbitrase dinyatakan: “Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain:
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.”
Kalau dibandingkan antara Pasal 70 dengan Penjelasan Umum sebenarnya dapat dikatakan tidak terdapat perbedaan, terlebih bertentangan. Meskipun demikian persoalan telah dan/atau akan dapat mungkin muncul dari kata-kata yang sebenarnya tidak secara langsung menyangkut isi pasal, yaitu antara kata-kata: “unsur-unsur sebagai berikut” (Pasal 70) dan “antara lain” (Penjelasan Umum). Kata-kata “unsur-unsur sebagai berikut” dalam Pasal 70 mengandung pengertian terbatas (limited). Sedangkan kata-kata “antara lain” dalam Penjelasan Umum dapat memberikan pengertian tidak terbatas (unlimited).
PN Jakarta Pusat ketika memutus sengketa antara Pertamina melawan Karaha Bodas tidak memakai tiga alasan pembatalan yang disebutkan dalam Pasal 70 UU Arbitrase dengan argumentasi bahwa berdasarkan penjelasan umum UU Arbitrase terbuka kemungkinan dipakai alasan lain untuk membatalkan putusan arbitrase.
Sementara itu dalam putusan Mahkamah Agung No 01/Banding/Wasit/2001 dalam perkara antara Ssangyong Engineering & Construction dan PT Murinda Iron Steel melawan PT Danareksa Jakarta Internasional ditegaskan bahwa Pasal 70 UU Arbitrase menyebutkan secara limitatif hal-hal yang menjadi alasan permohonan pembatalan.
Kemudian patut diperhatikan Putusan Mahkamah Agung No 06/Banding/Wasit/2001 tentang perkara antara PT Twink Pratama vs PT Coca Cola Amatil Indonesia dkk. Dalam Putusan ini diadakan analisis materil dengan cara melakukan penyaringan dan penilaian terhadap alasan-alasan pembatalan yang diajukan untuk memastikan bukti-bukti sungguh-sungguh memenuhi unsur yang dimaksud Pasal 70 UU Arbitrase. Hasilnya ternyata dokumen yang diajukan oleh pemohon pembatalan tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 70 UU Arbitrase. Dengan demikian dapat dikatakan pemenuhan unsur-unsur yang dimuat dalam Pasal 70 Arbitrase merupakan keharusan.
Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Negosiasi adalah proses konsensus yang digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan di antara mereka Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan.

0 komentar

Posting Komentar