perdagangan dalam negeri bag.1

Diposting oleh no Selasa, 21 April 2009

saya akan mencoba membantu teman2 dalam membuat tugas...
dan sekarang saya akan membeberkan tentang PERDAGANGAN DALAM NEGERI
berikut akan saya uraikan ,dan mohan maaf apabila ada kesalahan....


BUTIR - BUTIR PEMIKIRAN PERDAGANGAN INDONESIA 2009 – 2014
39
A INDUSTRI RITEL

Industri ritel merupakan salah satu industri yang strategis di Indonesia. Industri ini merupakan sektor kedua terbesar dalam hal penyerapan tenaga kerja, yaitu menyerap kurang lebih 18,9 juta orang, urutan kedua setelah sektor pertanian yang mampu menyerap sekitar 41,8 juta orang. Industri ritel terbagi menjadi dua jenis:

(1) Ritel Tradisional; dan
(2) Ritel Modern.

Ritel tradisional diwakili oleh pasar-pasar tradisional dan warung-warung kecil di pinggir jalan, sedangkan ritel modern diwakili oleh Carrefour, Ramayana, Indomart, Alfamart, dan sebagainya.

Ritel tradisional di Indonesia memiliki nilai strategis. Pasar ritel tradisional di Indonesia termasuk yang paling sering dikunjungi, yaitu sebanyak 25 kali per bulan, dibandingkan dengan India dan Srilangka yang hanya 11 kali per bulan dan Filipina yang hanya 14 kali per bulan. Ada beberapa keunggulan pasar ritel tradisional, antara lain adalah kemudahan akses bagi pemasok kecil termasuk petani. Selain itu di pasar ritel tradisional dapat terjadi tawar-menawar, barangnya segar, dan dekat dengan rumah, namun pasar ritel tradisional tidak memiliki tempat senyaman pasar ritel modern.

Pasar ritel modern selain memiliki tempat yang nyaman, barang-barangnya pun memiliki standar yang tinggi dan berkualitas karena biasanya perusahaan ritel modern akan menjaga citra perusahaan. Selain itu pelayanannya pun bagus dan juga barang yang tersedia lengkap, dari barang elektronik sampai dengan kebutuhan sehari-hari. Namun, pada pasar ritel modern tidak dapat dilakukan tawar-menawar.


Perkembangan pasar ritel modern di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat. Lima tahun yang lalu hampir semua supermarket berada di Jabotabek, tapi sekarang hanya 50%-nya. Pembangunan supermarket sudah meluas ke pulau-pulau lainnya, bahkan pedesaan besar di Jawa. Awalnya supermarket hanya untuk kalangan A consumers (konsumen kelas Atas). Namun, sekarang telah merambah ke B and C consumers (konsumen menengah bawah).
Ada banyak keuntungan yang dapat diperoleh dari perkembangan ritel modern di Indonesia, antara lain: dimanjakannya konsumen dengan tempat perbelanjaan yang nyaman, keamanan, variasi produk yang beragam, dan juga harga produk yang bersaing. Di sisi lain kehadiran ritel modern menimbulkan beberapa permasalahan, seperti tersingkirnya pasar ritel tradisional. Hal ini tidak terhindarkan dikarenakan kemampuan bersaing mereka yang masih rendah dan juga minimnya modal yang menunjang kegiatan bisnis para peritel tradisional.
Akuisisi Alfamart oleh Carrefour memicu sebuah tanda tanya besar. Betapa tidak, untuk saat ini saja, dalam kategori ritel modern yang menjual barang kebutuhan rumah tangga, Carrefour sudah menjadi ritel dengan omzet terbesar, yaitu sekitar Rp 7,2 triliun. Dengan akuisisi Alfamart, Carrefour akan mendapat keuntungan perluasan pasar dengan tambahan 34 gerai langsung.

Bisnis modern terutama ritel terus melakukan transformasi sebagai respon economic turbulence yang terjadi pada tahun 2008 ini. Persaingan yang ketat membuat beberapa peritel dunia aktif melakukan penetrasi pasar ke emerging market yang banyak di negara berkembang.
Industri Ritel Modern

Awalnya, pasar ritel modern Indonesia dikuasai oleh beberapa pemain ternama yang sudah lama berkecimpung dalam usaha ini seperti: Hero, Indomaret, Ramayana, Matahari, Alfa. Serbuan hypermarket asing yang begitu gencar di tahun 2000-an menjadikan peta persaingan bisnis ritel menjadi makin sengit.

Perkembangan usaha ritel modern nasional selama lima tahun terakhir sungguh mencengangkan. Menurut survei AC Nielsen (2006), jumlah pusat perdagangan, baik hypermarket, pusat kulakan, supermarket, minimarket, convenience store, maupun toko tradisional meningkat hampir 7,4% selama periode 2003-2005. Dari total 1.752.437 gerai pada tahun 2003 menjadi 1.881.492 gerai di tahun 2005. Perkembangan yang sangat tinggi ini menunjukkan bahwa pasar Indonesia memiliki potensi yang sangat menjanjikan bagi usaha ritel. Saat ini kota-kota besar seperti Surabaya, Bandung, Medan, Makasar, dan Semarang menjadi basis perkembangan supermarket. Surabaya menjadi basis perkembangan supermarket dengan persentase hampir 11,6% dari total supermarket di Indonesia.

Hypermart, Makro, Giant dan Carrefour adalah nama-nama yang dikenal bertipe hypermarket. Lahan yang luas, display yang lega, pilihan barang yang sangat bervariatif dan serba ada, sekaligus menawarkan kemudahan berbelanja, menjadi karakteristik mencolok pada hypermarket.
Carrefour, raksasa ritel dari negeri Perancis yang mulai memasuki pasar Indonesia sejak awal 1998, menyebar benih keuntungan di beberapa kota. Modal pengalaman internasional menyebarkan outlet di berbagai penjuru bumi dan memiliki modal besar membuat Carrefour mampu bersaing dengan pasar domestik yang dimasukinya. Diakuisisinya saham PT Alfa Ritelindo Tbk (Alfa) oleh Carrefour, akan memperkokoh posisi Carrefour di pasar ritel Indonesia.
Muncul kekhawatiran bagaimana nasib peritel domestik, bahkan lebih jauh dikhawatirkan akan mengkanibalisasi pasar tradisional. AC Nielsen mencatat, dari tahun ke tahun dimulai tahun 2000, pangsa pasar pasar ritel tradisional terus menurun. Pada awal 2000 pangsa pasar tradisional 78,3% dan makin berkurang menjadi 70,5% di tahun 2005. Makin mengguritanya peritel asing patut diwaspadai akan mengganggu ”wong cilik” yang bekerja pada pasar tradisional. Sejalan dengan terjadinya adanya pergeseran sosial ekonomi, dari kalangan “A Consumers” (konsumen kelas atas), merambah ke “B and C Consumers” (Konsumen menengah dan bawah), maka infrastruktur pasar tradisional mutlak perlu segera diperbaiki.



Persaingan Usaha

Fenomena kebangkitan bisnis ritel sebenarnya sudah terlihat sejak pertengahan tahun 1990an. Survei yang dilakukan AC Nielsen (2006) menunjukkan bahwa jumlah pasar tradisional di Indonesia sebanyak 1,7 juta atau sebesar 73% dari keseluruhan pasar yang ada, sisanya sebanyak 27% berupa ritel pasar modern. Yang lebih mengejutkan adalah survei yang dilakukan FAO (2006) yang menyatakan bahwa antara tahun 1997 hingga 2005, bisnis ritel meningkat hampir 30% dengan pertumbuhan mencapai 15% untuk ritel modern dan 5% untuk pasar tradisional. Hal tersebut menunjukkan terjadinya pergeseran dari pasar rakyat menjadi pasar modern. Tingkat pertumbuhan yang berbeda jauh tersebut diperkirakan akan membuat pasar tradisional makin tersingkir dari arena persaingan. AC Nielsen dalam perhitungannya menyebutkan bahwa eliminasi pasar tradisional setiap tahunnya sebesar 1,5%.
Jurnal Litbang Pertanian, 27(1), 200811ROLE more global with foreign directinvestment bringing state of the art man-agement and logistical techniques as wellas access to global markets (Timmer 2004).The growth of supermarkets and hyper-markets in Indonesia is shown in Figure 1.As the income rise and welfare increa-se, people are faced with many options,choices, and alternatives to spend theirexpenditures on food, especially whenthey are shopping at the modern markets.Supermarkets and hypermarkets havecome to be their best place to get whatthey want since they can function as one-stop-place to buy anything followingchanges in the people’s lifestyles. Theperception of shopping in air conditionand comfortable with fixed prices hasbecome the trend of urban lifestyles. Somepeople go to the supermarkets with theirfamilies as place for recreation or leisureand thus can increase their social status,rather than go to the wet or traditionalmarket with uncomfortable environment.The government role as public nutri-tion provider and distributor is becomingmore and more limited; and replaced bythe private sector. Supermarket and mod-ern market can provide food with highstandard and competitive prices. On theother hand, the existence of modernmarkets agricultural policies and set theagricultural development take place withbalancing the modern and traditionalmarkets that could facilitate farmers andtraders to provide food in line with whatconsumers’ need and meet the standardquality. Meanwhile, effort is needed toeducate and influence consumers to makea good choice of healthy food (Suryana2007). The quality of food consumed hasto meet the minimum standard of dietaryintake and safety. Minimum requirementof food intake includes not only thevolume, but also the quality of food con-sumed.GROWING FAST FOODFast food restaurants have grown tremen-dously in terms of the number of outletsand customers. Fast food can be easilyfound in the modern markets (super-markets and hypermarkets), on the streetsides or anywhere in strategic places. Themenus provided are diverse and variedfrom imported to the local or traditionalfoods. Franchised-fast foods from abroad,for example, are burger, French-fries, pizza,and bento, whereas local or traditional fastfoods for example are local menus avail-processed flected in the large scale tries (Table scale food and 4,639, growing 2003. The ment in the that of situation dium-scale The growth is higher Table 2 and with or industries. either take away of works cookies, and they usually cafeteria they cooking has emerged out or cessed food their food The change incidence In some communities, plus also occurred. and emerged. scape-goat the hypertension sures), high food can food, content. less fat content, Khomsan in health problem equal to that is Figure 1.The number of supermarket and hypermarket in Indonesia, 1997−2003(Harkarlianus 2007).1,2001,0008006004002000Number of store1997199819992000200120022003HypermarketSupermarketMinimarketExpon. (minimarket)Expon. (supermarket)

Fenomena yang terjadi memang menunjukkan bahwa semakin tinggi populasi kemiskinan maka akan semakin banyak munculnya pasar tradisional. Di lain pihak semakin tinggi pendapatan rata-rata masyarakat per kapita, maka semakin besar kelompok konsumen menengah ke atas dan pola konsumen juga dengan sendirinya akan berubah ke pasar modern yang jauh lebih baik dibandingkan pasar tradisional seperti kenyamanan, keamanan, kebersihan, dan parkir yang luas. Survei yang dilakukan CESS (1998) menunjukkan bahwa tempat yang lebih nyaman merupakan faktor utama konsumen memilih pasar, diikuti dengan harga dan kebebasan untuk melihat lihat pada posisi ketiga.
Memang terjadi kecenderungan pergeseran pengeluaran uang para pembeli dari pasar tradisional ke pasar modern. Survei AC Nielsen (2003) menemukan bahwa konsumen di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya, cenderung membelanjakan sebagian besar dari uangnya ke pasar swalayan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan yang cukup besar dari jumlah konsumen ke pasar modern dalam setahun yakni dari sekitar 35% pada tahun 2001 menjadi 48% pada tahun 2002. Sebaliknya, persentase dari total konsumen ke pasar tradisional mengalami penurunan dari 65% ke 52% dalam waktu yang sama. Khususnya di Jakarta, minat konsumen berbelanja ke pasar swalayan meningkat cukup signifikan dari sekitar 31% pada tahun 2001 menjadi 48% pada tahun 2002. Sedangkan yang ke pasar tradisional menurun dari 69% ke 52% selama periode yang sama.

Strategi Pemberdayaan Pasar Tradisional
Perpres No. 112/2007 menyebutkan sejumlah langkah pemerintah dalam upaya memberdayakan pasar tradisional, yaitu:

1) Pemberdayaan pasar tradisional agar dapat tumbuh dan berkembang serasi, saling memerlukan, saling memperkuat serta saling meng-untungkan.

2) Memberikan pedoman bagi penyelenggaraan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern.

3) Memberikan norma-norma keadilan, saling menguntungkan dan
tanpa tekanan dalam hubungan antara pemasok barang dengan toko modern.

4) Pengembangan kemitraan dengan usaha kecil, sehingga tercipta tertib persaingan dan keseimbangan kepentingan produsen, pemasok, toko modern, dan konsumen.

Keberadaan pasar tradisional harus mendapatkan perhatian yang lebih serius mengingat usaha kecil terbukti tidak rentan terhadap efek krisis multidimensional yang melanda Indonesia sejak 1997. Perubahan bertahap menuju pelayanan seperti ritel modern juga harus dikembangkan oleh pasar tradisional agar tidak tersingkir dalam perebutan konsumen.

Strategi pemberdayaan pasar tradisional dapat dilakukan dengan dua jenis strategi, yaitu strategi jangka pendek dan strategi jangka panjang. Strategi jangka pendek adalah dengan melakukan:
1) Pembangunan fasilitas dan renovasi fisik pasar
2) Peningkatan kompetensi pengelola pasar
3) Melaksanakan program pendampingan pasar
4) Penataan dan pembinaan pasar (Perpres No.112/2007)
5) Optimalisasi pemanfaatan lahan pasar

Sedangkan strategi pembinaan jangka panjang dapat dilakukan dengan cara:
1) Pengembangan konsep koridor ekonomi pasar tradisional
2) Perbaikan jaringan suplai barang ke pedagang pasar
3) Pengembangan konsep pasar sebagai koridor ekonomi (pasar wisata)
4) Kompetisi pasar bersih (penghargaan dan sertifikasi)

Untuk melakukan kedua strategi tersebut harus ada langkah yang terintegrasi. Langkah yang terintegrasi dapat dilakukan bila ada dukungan, berupa:
1) Kebijakan fiskal yang tepat dan efektif
2) Program KUR (Kredit Usaha Rakyat)
3) Program kredit lunak pembangunan pasar, dukungan DAWA untuk


pembangunan infrastruktur perdagangan di daerah, dan program kemitraan dengan pemerintah, pemda, BUMN, dan swasta.
Pemerintah pusat dan daerah, baik secara mandiri maupun bersamaan, harus melakukan pembinaan dan pengawasan pasar tradisional dan toko modern sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Pembinaan dan pengawasan untuk pasar tradisional dilakukan dengan cara:
1) Mengupayakan sumber-sumber alternatif pendanaan untuk pem-berdayaan
2) Meningkatkan kompetensi pedagang dan pengelola
3) Memprioritaskan kesempatan memperoleh tempat usaha bagi pedagang pasar tradisional yang telah ada sebelum dilakukan renovasi atau relokasi
4) Mengevaluasi pengelolaan
Untuk pasar modern, pembinaan dan pengawasan dapat dilakukan dengan cara memberdayakan pusat perbelanjaan dan toko modern dalam membina pasar tradisional dan juga mengawasi pelaksanaan kemitraan. Pemberdayaan pusat perbelanjaan modern untuk membina pasar tradisional dapat dilakukan dengan memanfaatkan pasar tradisional sebagai pemasok utama barang-barang yang ada di pusat perbelanjaan modern.

Berbagai persoalan utama dalam industri ritel Indonesia terletak pada ketidakmampuan pelaku usaha ritel tradisional untuk bersaing dengan pelaku usaha ritel modern, baik dari aspek keuangan maupun manajemen usaha. Kemampuan permodalan kedua belah pihak sangat jauh berbeda sekali sehingga value creation yang dihasilkan pelaku usaha ritel modern sama sekali tidak dapat dilakukan oleh pelaku usaha ritel tradisional.

Perlu adanya keberpihakan negara terhadap UMKM. Keberpihakan di sini memiliki pengertian bahwa regulasi itu harus melindungi UMKM, tapi dikembangkan secara sehat, transparan, dan akuntabel. Kemudian UMKM harus dilindungi secara hukum nasional maupun lokal agar keberlangsungan usaha mendapatkan perlindungan yang pasti.

Terakhir pemerintah harus mendorong pertumbuhan produksi dalam negeri yang berkualitas dan mengoptimalkan skema kredit perbankan dan program kemitraan.

B. Waralaba

Bisnis waralaba atau franchise, diperkirakan akan terus meningkat. Kenapa waralaba diperkirakan tetap tumbuh meski di saat ekonomi sulit? Salah satu alasannya adalah pola franchise dalam pengembangan usahanya yang lebih mudah. Pemilik usaha dapat mempercepat pertumbuhan outletnya dengan tidak perlu menunggu terkumpulnya modal karena sang franchisee (pembeli hak franchise)/investor yang akan memberikan modal. Dengan pola tersebut maka jaringan dapat dengan cepat meluas.
Definisi waralaba dalam peraturan terbaru tentang waralaba (PP no 42 tahun 2007) adalah ”hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”. Waralaba harus memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Memiliki ciri khas usaha;
2. Terbukti sudah memberikan keuntungan;
3. Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis;
4. Mudah diajarkan dan diaplikasikan;
5. Adanya dukungan yang berkesinambungan;
6. Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar.

Menurut International Franchise Association, secara umum terdapat beberapa bentuk format bisnis waralaba, yaitu:
1. Unit franchising
2. Area development franchising
3. Subfranchising
4. Conversion or affiliation franchising
5. Nontraditional franchising.

Sistem franchise merupakan salah satu konsep pemasaran diusulkan oleh ILO – International Labor Organization pada pemerintah RI, dalam hal ini Departemen Perdagangan guna menciptakan lapangan pekerjaan dan menggiatkan perekonomian.
Pada tahun 1991 ILO membiayai suatu studi yang merupakan suatu base line studi dan mendatangkan ahli franchise, Mr. Martin Mendelsohn untuk mempelajari dan merekomendasikan suatu program guna mengembangkan situasi bisnis di Indonesia.


Waralaba di Indonesia

Waralaba (franchise) berkembang pesat di Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini. Di tahun 2007 jumlah penjualan melalui pola waralaba ini telah mencapai Rp 81 Triliun rupiah atau US$9 Milyar.
Dalam laporan dan rekomendasinya yang termuat dalam dua (2) buku, Martin Mendelsohn merekomendasikan untuk mendirikan suatu Franchise Resource Centre, yang merupakan badan semi pemerintah di bawah koordinasi (Departemen Perdagangan) dan bertujuan untuk :
• Mensosialisasikan sistem franchise
• Mendirikan perpustakaan
• Membantu merekrut tenaga-tenaga ahli franchise untuk mendidik dan melatih konsultan franchise
• Mendirikan pula pilot sentra di pusat dan di provinsi-provinsi
• Mengadakan kerja sama dengan Perguruan Tinggi dan Lembaga Keuangan serta Institusi terkait lain
• Membantu mendirikan Asosiasi Franchise oleh pihak swasta.
• Mengadakan networking dengan asosiasi-asosiasi industri lain, pusat-pusat atau sentra-sentra UKM, Perbankan.
• Mengadakan pelatihan-pelatihan pada tingkat akademis dan lembaga.
• Diadakan fasilitasi perkreditan melalui perbankan
Secara historis, jika dilihat dari tahun berdiri, pertumbuhan bisnis waralaba di Indonesia kebanyakan bermunculan antara tahun 2006 hingga 2008. Pada dua tahun terakhir ini bisnis yang diwaralabakan mencapai 56,7%. Sedangkan antara 2000-2005, bisnis yang diwaralabakan hanya 35,4%. Pertumbuhan waralaba di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 3 Gambar ini menunjukkan bahwa mulai tumbuhnya bisnis waralaba secara masif pada periode antara 2006-2008. Sehingga diperkirakan pertumbuhan jenis usaha yang mewaralabakan usahanya akan terus melaju pada tahun 2008, tahun di mana franchise menjadi sebuah trend bisnis yang akan terus berkembang.

Dalam PP No.42 tahun 2007 dikemukakan salah satu persyaratan sebagai waralaba, yaitu sudah harus bisa bertahan dalam lima tahun. Jangka waktu akan lima tahun ini menjadi semacam uji coba bagi bisnis tersebut agar dapat diwaralabakan. Waralaba yang hanya dapat bertahan dalam kurun 1-
44.50%21.40%23.70%6.80%3.60%35.40%56.70%5.80%1.50%0.60%0.00%10.00%20.00%30.00%40.00%50.00%60.00%SEBELUMTAHUN 1980TAHUN 1980-1989TAHUN 1990-1999TAHUN 2000-2005TAHUN 2006-2008Usaha Berdiri Usaha Diwaralabakan


2 tahun merupakan tanda bahwa bisnis waralaba tersebut hanya musiman. Dari sekian banyak waralaba yang gulung tikar terdapat bisnis waralaba yang masih dapat bertahan, bahkan dominan dalam lahan bisnisnya.
Karakteristik waralaba di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 4. Dari total seluruh waralaba yang ada di Indonesia, jenis usaha yang paling banyak adalah berupa usaha makanan dan minuman dengan persentase sebesar 42,9% dan jasa pendidikan sebesar 17,8% (Info Franchise, 2008). Konsep usaha franchise ternyata lebih dominan daripada konsep business opportunity dengan persentase 58,8% berbanding 30,5%. Sebanyak 64, 3% waralaba di Indonesia masih dikuasai oleh pengusaha lokal, sedang pengusaha asing masih berada di 35,7 %.
PP No.42 tahun 2007

Dalam memantau implementasi Inpres No. 6/2007, PP Nomor 16 Tahun 2007 tentang waralaba diganti dengan peraturan dalam bentuk PP No. 42 Tahun 2007 tentang waralaba. Peraturan ini dikeluarkan dalam rangka meningkatkan tertib usaha waralaba serta meningkatkan kesempatan usaha nasional. Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang waralaba (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3690) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Terkait dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 42/2007 tentang waralaba sebagai salah satu hasil produk hukum dari Inpres No. 6/2007 sebenarnya menimbulkan masalah baru dalam pengembangan UMKM. Ada beberapa substansi PP baru ini mungkin tanpa disadari justru potensial menghambat tumbuhnya UMKM menjadi pemberi waralaba nasional yang andal, karena beratnya persyaratan yang ditetapkan dan tentu saja akan sulit dipenuhi oleh usaha kecil. Misalnya, aturan tentang “bimbingan dalam bentuk pelatihan, penelitian dan pengembangan” dan seterusnya. Salah satu permasalahan adalah tampaknya hanya perusahaan–perusahaan besar yang sanggup menjadi pemberi waralaba, suatu hal yang bertolak belakang dengan semangat dan maksud PP No. 42/2007 dibuat.

C. KEAGENAN

Secara klasik perbedaan Waralaba dan Keagenan ada pada tingkat eksklusivitasnya. Waralaba eksklusif dan disertai dengan ketentuan-ketentuan yang ketat. Di mana merek sudah ditentukan oleh pemilik hak waralaba, sistem bisnis yang sudah baku dan konsep bisnis diatur dari A-Z sehingga tidak bisa seorang pembeli hak waralaba mengubah konsep bisnis yang menyimpang dari aturan dan bimbingan dari pewaralaba.

Sedangkan pada jenis usaha keagenan dapat tidak eksklusif sehingga semua orang bisa masuk pada jenis usaha ini. Keagenan lebih mirip lisensi (Product and Trade Name Franchising). Lisensi dan keagenan memiliki catatan khusus dalam pengembangannya. Seyogyanya setiap pembeli lisensi berhati-hati karena tidak semua lisensi yang dibeli dapat berhasil di pasar. Umum terjadi bahwa para pelaku usaha mengambil sembarang merek yang tidak mereka kuasai ilmunya. Sebaiknya pelajari dulu prospek, pemasaran dan harga dari lisensi yang ingin di beli

Tahun-tahun ke depan, dapat diprediksi Indonesia akan menjadi ladang yang “basah” bagi bisnis waralaba, lisensi dan keagenan. Hanya saja, seleksi alam akan terjadi, apalagi dengan dikeluarkannya PP No 42 tahun 2007. Bagi pewaralaba atau pemegang lisensi/keagenan yang dapat mengelola bisnisnya dengan baik, akan tetap hidup dan mekar. Namun sebaliknya, yang tidak dapat bertahan akan mundur teratur.

D. Rekomendasi tentang Perdagangan Dalam Negeri

Dalam pengelolaan kebijakan dan strategi usaha perdagangan dalam negeri, direkomendasikan beberapa butir pemikiran sebagai berikut:
1. Keberpihakan pada produk Indonesia
Kebijakan perdagangan dalam negeri Indonesia perlu menunjukkan keberpihakan pada kepentingan nasional dengan memberikan jaminan tersedianya etalase berdagang yang lebih leluasa bagi perusahaan dan produk Indonesia.
2. Keleluasaan berusaha bagi pelaku usaha Indonesia
Usaha dagang dalam bentuk ritel, grosir, waralaba, keagenan, distribusi, dan usaha dagang lainnya perlu diprioritaskan bagi pelaku usaha Indonesia.
3. Pengembangan merek dan promosi
Dalam rangka meningkatkan daya saing perusahaan dan produk Indonesia, diperlukan pengembangan merek dan promosi terpadu. Pemerintah dan pelaku usaha perlu memberi perhatian pada pengembangan merek dan promosi, termasuk dengan menyediakan anggaran dan merumuskan program yang tepat.
4. Modernisasi peritel tradisional
Perubahan gaya belanja konsumen Indonesia perlu direspon oleh peritel tradisional dengan melakukan modernisasi dengan fasilitasi dari pemerintah dan dukungan peritel modern.

0 komentar

Posting Komentar